Kamis, 05 Oktober 2017

Hari Santri 2017, 'WAJAH PESANTREN WAJAH INDONESIA'

Dalam memperingati hari Santri 2017, Pemerintah dalam hal ini Kemeterian Agama menyelenggarakan berbagai kegiatan yang produktif diantaranya; Lomba Komik dan Kartun Stip, Malam Pembacaan Puisi Santri “Ketika Kiai_Nyai-Santri Berpuisi: Pesantren tanpa Tanda Titik”, Santri Enterpereuner Competition, Shalawat Kebangsaan dan Konfigurasi MOP Santri untuk Negeri, Pemecahan Rekor Muri Komik Santri Terpanjang (300 M), Upacara Bendera dalam rangka hari Santri, Santri Writer Summit, Pesantren Expo dan Musabaqoh Qiroatul Kutub (MQK) Nasional. kegiatan-kegiatan tersebut dimaksud untuk dapat menyebarluaskan efek positif Hari santri yang tahun ini merupakan tahun ke 3 (tiga) setelah Presiden Jokowi mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 22 tahun 2015 terkait Hari Santri Nasional. Dengan Keppres tersebut, keberadaan Santri teruatam di Indonesia "diakui" oleh pemerintah dari segi Regulasi. karena memang Santri sejak dulu, sebelum Negara ini ada, Mereka bukan hanya ngaji di Pesantren, juga turut andil dalam kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

'Santri adalah muslim pembelajar sekaligus barisan patriotik yang mencintai negeri. Dalam jiwa santri, ke-islaman dan ke-indonesiaan telah menjadi satu tarikan nafas yang tak terpisahkan', itulah definisi Santri yang secara bersamaan, dalam satu tarikan nafasannya antara menuntut ilmu (Ngaji) dan menjaga keutuhan NKRI adalah suatu kewajiban.

untuk itu, tema Hari Santri 2017 'WAJAH PESANTREN WAJAH INDONESIA', dimana tema tersebut tergambarkan dalam logo sebagai berikut:


Logo Hari Santri 2017

" BALUTAN WARNA MERAH PUTIH DAN PETA INDONESIA MENYERTAI TULISAN HARI SANTRI 2017 DAN 'WAJAH PESANTREN WAJAH INDONESIA' MENGGAMBARKAN BAHWA SANTRI SEBAGAI SALAH SATU BAGIAN DARI ELEMEN BANGSA PENJAGA KEUTUHAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI) DARI SABANG SAMPAI MERAUKE. SANTRI DALAM KONTEKS LOGO HARI SANTRI 2017 INI ADALAH MASYARAKAT YANG CINTA TANAH AIR, BERJIWA KESEDERHANAAN, DAN BERJIWA PATRIOT YANG TERUS DIGELORAKAN"

demikian tulisan ini dibuat, semoga bermanfaat.

Kamis, 20 Juli 2017

Satuan Pendidikan Muadalah Pada Pondok Pesantren

Berbicara tentang jenis-jenis pendidikan yang ada di Indonesia mungkin masih banyak yang belum memahami betul, termasuk penulis sendiri, terkait hal dimaksud. Sebagai informasi, ada Jenis Pendidikan Umum, ada juga Jenis Pendidikan Umum berciri khas Islam, juga ada Jenis Pendidikan Keagamaan Islam. Pada Kesempatan ini, fokus saya mengenai Jenis Pendidikan Keagamaan Islam seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 13 Tahun 2014. Pada Pendidikan Keagamaan Islam ini, lebih spesifik lagi, saya hanya menginformasikan Satuan Pendidikan Muadalah yang merupakan Pendidikan Formal yang diselenggaakan Pesantren dan termasuk dalam kategori Jenis Pendidikan Keagamaan Islam. Lebih lanjutnya mengenai Satuan Muadalah, Apakah Satuan Pendidikan Muadalah itu? dimana dan bagaimana penyelenggaraannya? Seperti Apa jenis, kurikulum, pendidik, peserta didik Satuan Pendidikan tsb? Akan dijelaskan secara singkat pada penjelasan berikut. Semoga bermanfaat.

Selasa, 18 Juli 2017

Cara Membayar Kartu Kredit MNC Menggunakan ATM Bank BCA (Real Time)

Kartu Kredit menjadi sangat populer dikalangan masyarakat saat ini. fasilitas dan manfaat yang ditawarkan menjadi nilai plus bagi penggunanya. Namun, jika anda menggunakan Kartu Kredit, harus bisa cermat dan cerdas. Termasuk dalam hal pembayaran


Jenis Kartu Kredit MNC

Pembayaran Kartu Kredit yang sifatnya Real Time, nyatanya, membutuhkan langkah-langkah yang beragam. bisa jadi, beda bank, akan beda pula cara pembayarannya. berikut saya akan berbagi Cara membayar Kartu Kredit MNC Menggunakan ATM Bank BCA.

1. Buka ATM BCA

2. Pilih Menu Pembayaran

3. Pilih Lain-lain

4. Masukan Kode MNC 720-124

5. Tekan 'BENAR', kemudian

5. Masukan 16 Digit Nomor Kartu Kredit MNC anda

6. Tekan 'BENAR', kemudian

7. Isi Nominal Yang Akan Anda Bayar,

8. Selesai


Demikian, semoga bermanfaat.

Cara Membayar Kartu Kredit Danamon Menggunakan ATM Bank Mandiri

Kartu Kredit menjadi sangat populer dikalangan masyarakat saat ini. fasilitas dan manfaat yang ditawarkan menjadi nilai plus bagi penggunanya. Namun, jika anda menggunakan Kartu Kredit, harus bisa cermat dan cerdas. Termasuk dalam hal pembayaran

Jenis-Jenis Kartu Kredit Danamon

Pembayaran Kartu Kredit yang sifatnya Real Time, nyatanya, membutuhkan langkah-langkah yang beragam. bisa jadi, beda bank, akan beda pula cara pembayarannya. berikut saya akan berbagi Cara membayar Kartu Kredit Danamon Menggunakan ATM Bank Mandiri.

1. Buka ATM Mandiri

2. Pilih Menu Transfer

3. Masukan Kode bank 011-8-7777777 (angka 7 tujuh kali)

4. Masukan No Referensi dengan memasukan 16 digit Nomor Kartu Kredit anda

5. Masukan Jumlah nominal yang akan anda bayar

6. Selesai dan simpan Bukti Pembayaran tersebut.


demikian, semoga bermanfaat.

Rabu, 12 Juli 2017

Cara Membayar Tilang Motor Daerah Jakarta Timur

Kelengkapan surat berkendara merupakan kewajiban yang harus dibawa oleh pengendara ketika hendak bepergian. sura-surat tersebut meliputi STNK dan SIM (Surat Izin Mengemudi). tentu, selain surat-surat juga harus menaati rambu-ambu lalu lintas agar terciptanya berkendara yang aman dan tertib lalu lintas.
namun, apabila saat berkendara kita kena 'apes bin sial' kena Penilangan. entah itu karena STNK atau SIM ketinggalan atau tidak dibawa, tidak perpanjangan, atau melanggar rambu lalu lintas tentu harus menanggung konsekuensi berupa denda. lebih baik, jangan merayu atau menerima 'damai', kita selesaikan hukuman tersebut dengan gentle. salah satunya membayar denda sesuai keputusan Pengadilan Negeri setempat.
singkat cerita, hari sabtu tanggal 10 Juni 2017. di daerah pasar Rebo sedang dilakukan Operasi Tertib lalu Lintas. sayangnya, saya kurang beruntung tidak sempat 'melipir' untuk menghindari penilangan tersebut. polisi juga pintar menempatkan posisi penilangan pas tikungan. jadi banyak juga yang tidak menduga. hehe
pelan-pelan saya mengendarai motor sambil baca solawat semoga tidak terlihat oleh para polisi. Alhamdulillah, bacaan solawat saya terdengar oleh pak polisi. seketika itu juga saya disuruh berhenti dan terjadilah perckapaan sebagai berikut.
polisi: selamat siang pak, mohon tunjukan STNK dan SIM nya?
saya : ini pak ada semua kok (sambil menunjukan STNK dan SIM saya)
polisi: STNK dan SIM memang ada. tapi maaf, SIM bapak sudah jatuh tempo sejak 2015 dan belum diperpanjang. untuk itu, kami lakukan penilangan.
 sambil mengeluarkan surat tilang dan mencatat biodata saya, setelah itu pak polisi memberikan Surat Tilang yang berwarna Biru.

 Slip warna biru surat Tilang

setelah mendapatkan Surat Tilang, sekitar 1 bulan kita menunggu vonis dari hakim berapa denda pasti yang harus kita bayar di bank. sebagai contoh, disurat tilang untuk Pelanggaran SIM, ditulis di angka Rp. 250.000. namun denda umumnya dibawah nominal tersebut.

jujur, ini pertama kali saya ditilang dan harus mengurusi pembayaran denda. Makanya, saya dibuat pusing dan cukup mengeluarkan energi dan waktu karena tidak mengetahui persis bagaimana cara pembayaran Tilang yang baik, benar dan tepat. untuk itu saya akan share terkait hal ini sesuai pengalaman saya.

Tertulis disurat tilang, 'Mewajibkan terdakwa untuk menghadiri sidang di Pengadilan Negeri Pulogebang, jakarta Timur pada hari Jum'at tanggal 7-7-2017.
Faktanya, kita tidak harus/ tidak diwajibkan untuk menghadiri sidang tersebut, cukup membuka situs tilang.pn-jakartatimur.go.id (khusus penilangan Wil. Jakarta Timur) untuk memudahkan mengetahui vonis denda yang harus kita bayar. cukup membuka situs tersebut dan kita mengetik nomer plat motor kita atau no register yang terdapat dipojok atas Surat Tilang dan denda yang harus dibayar akan langsung muncul.

no register
Banyak petualangan yang saya alami ketika harus membayar denda tilang. karena ini pertama kalinya bagi saya dan kurangnya info yang pasti. apakah harus dibayar lewat bank atau ATM. dan kalo lewat bank, apakah semua bank bisa atau bank tertentu saja. selanjutnya, kalo dibayar lewat bank tertentu, apa semua Kanca atau cabang dari lintas daerah apa apa ada Bank cabang tertentu?
semua pertanyaan diatas akir nya terjawab ketika saya mencari tahu melalui proses nya lumayan panjang, lelah namun pelajaran yang bermanfaat.

dimulai apakah harus dibayar lewat bank atau ATM?
Sebenarnya pembayaran Tilang, bisa dibayar lewat bank maupun ATM namun ada kriteria khusus Bank atau ATM nya. jika hendak dibayar lewat Bank, Bank harus BRI. Jika lewat ATM pun harus menggunakan ATM BRI dan anda diharuskan mengetahui no BRIVA. nomer BRIVA sendiri katanya diberikan oleh polisi yang menilang. kalo waktu itu nomer briva saya tidak ada. jika tidak ada nomer BRIVA, lebih baik pembayaran denda Tilang melalui Bank BRI saja. untuk wilayah Jakarta Timur, hanya bisa dibayar pada Bank BRI Jl. Otto Iskandardiata No. 72, Jakarta Timur. atau tepatnya sebelah halte Gelanggang Olahraga sebelum Terminal kampung melayu kalo dari Cawang. tiap wilayah hanya ada 1 Bank BRI Cabang sebagai tempat pembayaran Denda Tilang.
mohon share no rek BRI untuk pembayaran Denda Tilang Wilayah Jakarta Timur 0340-01-000428-30-7. untuk memastikan no rek tersebut, anda bisa datang lamgsung ke Bank BRI cabang dimana tempat anda tertilang.
menurut pengakuan petugas keamanan, lewat ATM pun bisa. di Menu Transfer pilih antar bank bri, kemudian ketik no rek tersebut. penulis belum tahu, apakah bisa menggunakan ATM selain BRI, karena tidak pernah mencoba. tks

setelah proses pembayaran denda dilakukan, bukti pembayaran tersebut anda berikan ke Polres dimana anda kena tilang, atau jika menggunakan ATM, bukti transfer anda tukarkan dengan slip kuning ke teller bank BRI, kemudian tunjukan ke Polres setempat untuk ditukarkan dengan Surat kendaraan yang ditahan sewaktu kena tilang. demikian

pengalaman ini saya tulis sesederhana mungkin, untuk sharing informasi. semoga bermanfaat

Selasa, 09 Mei 2017

TRADISI TILAWAH AL-QUR’AN


Sidang Jum’at rahimakumullah

Al-Qur’an merupakan firman Allah. Membacanya, walaupun belum paham artinya tetap mendatangkan pahala. Wajar umat Islam pada umumnya berusaha membaca Al-Qur’an, terutama dipesantren. Di pesantren, para santri membaca Al-Qur’an dan belajar cara membacanya dengan baik. Kalaupun di tempat tinggalnya sebelum mesantren seorang santri sudah belajar membaca Al-Qur’an sampai khatam, namun di pesantren tetap belajar lagi. Dapat dikatakan, belajar membaca Al-Qur’an di pesantren lebih fasih daripada di tempat belajar sebelumnya. Untuk belajar Al-Qur’an dengan benar dan baik saja kadang dibutuhkan waktu satu minggu sampai tiga bulan tergantung santri yang belajar. Hal ini dapat dipahami bila kita melihat budaya daerah yang mempengaruhi cara baca bahasa arab bagi yang masih belajar. Orang Jawa yang belum mengerti misalnya, menyebut dulhamid dengan dulkamid. Bahkan masih ada imam solat yang membaca Al-Hamdu dengan Al-Kamdu. Orang Tiongkok berdasarkan pengalama Ustadz Alifudin, da’i Tiongkok, bagi yang belum bisa ngaji, membaca ra dengan la, sehingga bunyi Allahu akbar menjadi Allah akbal. Dan orang sunda yang belum fasih sering membaca fa dengan pa, sehingga lafadz fa shalli dibaca dengan pa shalli. Untuk memperbaiki hal tersebut butuh waktu, latihan dan kesabaran.

Membaca Al-Qur’an merupakan tradisi di pesantren. Pesantren memfasilitasi bagi yang mau belajar membaca Al-Qur’an, minimal ba’da maghrib dan ba’da shubuh. Alunan suara orang yang membaca Al-Qur’an terdengar akrab di pesantren. mengenai membaca Al-Qur’an ini, marilah kita mengenang kiyai Moenawir Krapyak, Yogyakarta. Kiyai Moenawir sebelum berusia delapan tahun telah membaca Al-Qur’an sampai khatam. Hal ini diawali oleh tantangan ayahnya untuk menghatamkan Al-Qur’an dalam waktu seminggu dengan hadiah Rp 150,-. Ia ternyata berhasil, dan sejak itu istiqomah menghatamkan Al-Qur’an seminggu sekali. Ketika berusina 10 tahun ia mesantren di Madura. Kiyai Kholil Bangkalan memerintahkannya untuk menjadi Imam shalat berjamaah, sementara ia sendiri menjadi makmumnya. Setelah belajar di Madura, Kiayai Moenawir mengaji kepada beberapa ulama besar seperti Kiyai Sholeh Darat Semarang dan Kiayai Abdurrahman Watucongol, Magelang.

Setelah mengaji di bebrapa pesantren, pada tahun 1888, kiayi moenawir bermukim dan beljar di tanah Suci selama 21 tahun, dimana selama 16 tahun pertama, ia khusus mempelajari dan mempelajari Al-Qur’an beserta cabang-cabang keilmuannya. Di Mekah, beliau antara lain mempelajari tahfidz (penghafalan), tafsir, dan qiraah sab’ah (tujuh gaya bacaan) kepada Syekh Abdullah Sungkoro, Syekh Sarbini, Syekh Mukri, Syekh Ibrahim Huzaimi, Syekh Manshur, Syekh Abdul Syuku, dan Syekh Mustofa. Karena kecemerlanganya dalam mengaji, Syekh Yusuf Hajar, guru qiraah sab’ah, memberinya ijazah sanad qiraah yang bersambung hingga Rasulullah, sesuatu yang jarang terjadi. Dalam sanad silsilahnya qiraah tersebut ia berada di urutan ke -35. Ia juga mendapat sanad lain dari Syekh Abdul Karim bin umar Al-Badri Ad-Dimyathi.

Seorang sedang Membaca Al-Qur'an di KRL (source from google)

Disebutkan, ia juga melakukan riyadhah (penggemblengan diri dengan memperbanyak ibadah dan melakukan amal shalih) berjenjang: tiga (3) tahun pertama menghatamkan Al-Qur’an setiap tujuh (7) hari; tiga (3) tahun kedua menghatamkan Al-Qur’an tiga hati sekali; dan tiga (3) tahun ketiga mengkhatamkan Al-Qur’an setiap hari. Riyadhah tersebut ditutup dengan membaca Al-Qur’an tanpa henti selama 40 hari 40 malam, sehingga mulutnya terluka dan berdarah. Demikian majalah Al-kisah pernah menceritakan selintas riwayat hidupnya.

Bandingkan Kiyai Moenawir yang sering mengkhatamkan Al-Qur’an dengan kita! Umat silam masih banyak yang belum dapat membacanya saja masih belum mampu. Beruntunglah bagi mereka yang masih mau dan tidak malu belajar a ba ta tsa, sekalipun usianya sudah lansia. Berapa banyak yang masih belum dapat membaca Al-Qur’an? Berapa banyak pula orang yang sudah dapat membaca Al-Qur’an, namun lupa untuk membacanya? Kalau tidak percaya, coba ketuk pintu umat Islam. Pinjamkan Al-Qur’an kepadanya. Sebelum Al-Qur’an dibuka dan dibaca, tiup dulu covernya. Apa yang terjadi? Kalau debu-debu beterbangan, berarti Al-Qur’an tersebut hanya disimpan dan jarang dibuka dan dibaca. Berapa banyak orang yang menjadikan Al-Qur’an sebatas benda bersejarah, sekedar kenang-kenangan atau mas kawin saat akad nikah. Menyedihkan.

Siding Jum’at yang dirahmati Allah

Allah SWT berfirman, yang artinya:”Berkatalah Rasul:”Ya Tuhanku, sesunggguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an ini suatu yang tidak diacuhkan”. (QS. Al-Furqan:30)

Diantara makna dari mengacuhkan, meninggalkan dan menelantarkan Al-Qur’an ialah tidak membacanya. Belajarlah dari kiyai Moenawir Krapyak. Belajarlah dari para sahabat Rasulullah. Mereka banyak yang mengkhatamkan Al-Qur’an seminggu sekali. Rasulullah memerintahkan Abdullah bin Amr mengkhatamkan Al-Qur’an seminggu sekali. Begitu pula para sahabat lainnya: Utsman. Zaid bin tsabit, Ibnu mas’ud, dan Ubai bin Ka’ab ra. Bagi yang belum mambacanya, maka hendaklah terus belaja memvaanya. Nabi Saw bersabda, yang artiya:”Orang yang mahir membaca Al-Qur’an bersama para malaikat yang mulia dan taat. Sedangkan orang yang membaca Al-Qur’an dengan terbata-bata (masih belajar), maka baginya dua (2) pahala.” (HR. Muslim).

Berbahagialah orang yang mambaca Al-Qur’an. Berbahagialah orang yang mendengarkan dan menyimak Al-Qur’an. “Apabila dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang maha pemurah maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (QS. Maryam:58). Pernahkan kita menangis saat membaca Al-Qur’an?  Mengapa sulit menangis saat membaca Al-Qur’an? Adakah Al-Qur’an telah kehilangan daya mukzijatnya? Tidak adakah ayat Al-Qur’an yag dapat mengguncang hati kita? Ataukah ada debu dosa yang tebal yang menyelimuti hati kita, sehingga cahaya Al-Qur’an belum dapat menembus nurani kita?

Bacalah Al-Qur’an. orang mukmin yang membaca Al-Qur’an seperti buah yang harum baunya dan lezat rasanya. Sedangkan orang mukmin yang tidak membaca Al-Qur’an sekalipun tetap enak rasanya, namun tidak ada aroma harumnya. Adapun orang munafik yang membaca Al-Qur’an, sekalipun harum baunya, namun pahit rasanya.  Apalagi orang munafik yang membaca Al-Qur’an tidak ada harus dan pahit rasanya.

sejumlah orang sedang mendaras Al-Qur'an (source from google)

Sidang Jum’at rahimakumullah

Dalam membaca Al-Qur’an, ada beberapa tujuan, yaitu:

1.       Meraih Ilmu

Allah SWT berfirman, yang artinya:”Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya memperhatikan ayat-ayat Nya dan supaya mendapatkan pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shad:29)
Hasan Al-Bashri berkata,”Tidaklah Allah turunkan satu ayat, melainkan Dia ingin memberitahukan untuk apa ayat tersebut diturunkan dan apa yang Dia kehendaki.” Meraih ilmu saat membaca Al-Qur’an hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang menguasai bahasa Arab atau minimal memahami terjemahannya. Bila kita belum mendapatkan ilmu atau inspirasi saat membaca Al-Qur’an, hendaknya tetap membacanya, karena tetap diberi pahala dan berkah. Pahala satu (1) huruf yang kita baca adalah sepuluh (10) hasanah (kebaikan). Kaidah fikih menyebutkan, yang artinya:”Apa yang tidak dapat diraih semuanya, hendaknya tidak ditinggalkan semuanya.”

Dengan  kata lain, lakukan saja apa yang dapat dilakukan, sekalipun belum maksimal. Kalau tidak dapat menangkap ikan besar, maka jangan meninggalkan Ikan Teri.

2.       Mengamalkan ayat-ayat Al-Qur’an

Ali bin Abi Thalib ra berkata,”Wahai para pembawa Al-Qur’an atau pembawa ilmu, ketahuilah bahwa yang disebut ‘alim (orang berilmu) adalah yang mengamalkan apa yang ia ketahui dan ilmunya dan sesuai apa yang ia amalkan.” Hasan bin Ali berkata,”Bacalah Al-Qur’an sampai Ia dapat mencegahmu. Bila ia tidak bisa mencegahmu,, maka berarti yang engkau lakukan bukanlah membaca Al-Qur’an.”Amalkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam keseharian. Ibnu Katsir menjelaskan orang yang menelantarkan Al-Qur’an ialah orang yang tidak mendengarkan, tidak mengimani (tidak membenarkan), tidak memahami, tidak merenungkan dan tidak mengamalkannya. Tidak menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, dan berpaling dari Al-Qur’an menuju syair, lagu, dan ajaran yang bertentangan dengan Al-Qur’an (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adziem, Juz III, hal.317).

Rasulullah Saw bersabda,”siang dan malam telah berakir (telah tiba hari kiamat). Lantas seseorang meletakan mushaf di hadapannya. Ia membolak balik lembaran mushaf, namun lembaran-lembaran itu malah melaknat orang tersebut. Setiap kali dia membaca sebuah ayat, maka ayat itu melaknat dirinya. Setiap kali dia mengucap satu (1) huruf ayat, maka huruf itupun melaknatnya.” Rasulullah ditanya,”Mengapa bisa demikian ya Rasululallah?”

Beliau menjawab,”Setiap dia membaca ayat yang menerangkan keharaman khamr dan perjudian," maka ayat itu berkata,”Dia pembohong. Semoga Allah melaknatnya. Sebab dia tidak menjauhi khamr dan perjudian.”Ketika dia membaca ayat mengerjakan Haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah, maka ayat itu akan berkata,”Dia pembohong. Semoga Allah melaknat orang itu. Sebenarnya orang itu mampu untuk menunaikan haji. Namun, dia tidak menunaikannya.”Setiap kali dia membaca ayat yang tidak dia kerjakan kandungannya, maka ayat itu akan selalu melaknatnya.”

3.       Bermunajat kepada Allah

Maksud munajat adalah membaca Al-Qur’an dengan hidup dan menyadari apa yang dibaca. Ketika melewati satu ayat yang berisi tasbih, maka bertasbih. Ketika melewati ayat yang berisi permohonan, maka memohonlah. Ketika melewati ayat yang berisi perlindungan, maka mohonlah perlindungan.”Al-Qur’an adalah surat dari Allah untukmu yang disampaikan melalui lisan Rasul-Nya.”(Ibnu Qayyim). Seandainya kita mendapat surat dari orang yang kita cintai, tentu kita akan membacanya berulang-ulang. Ada kerinduan saat kita membacanya. Bahkan saat membuka sampul suratnya pun, detak jantung kita sudah berpacu, perasaan kita bergelora, dan rasa rindu dan ingin tahu yang tak terahankan. Saat membacanya kita fokus. Mata dan pikiran kita tertuju hanya pada isi surat yang sedang kita baca. Setelah membacanya, kita ingin membacanya lagi, lagi, dan lagi. Al-Qur’an adalah kiriman surat dari Allah Al-Mahbub (yang dicintai), yang kita puji karena kebaikan dan nikmat-Nya yang berlimpah ruah. Nikmat Tuahn mana lagi yang kau nafikan? Membaca Al-Qur’an seakan kita berhadapan dengan Allah.

4.       Meraih Pahala

Aisyah ra berkata, Rasulullah Saw bersabda,”Seorang yang mahir dengan Al-Qur’an, maka ia bersama malaikat yang mulia dan selalu berbuat kebajikan. Orang yang membaca Al-Qur’an dan terbata-bata dalam membacanya sedang ia merasa kesulitan, maka ia mendapatkan dua (2) pahala.”Hikmah Al-Qur’an itu berpahala, sekalipun belum diketahui artinya antara lain adalah menjaga keasliannya karena orang yang terdorong membacanya walaupun belum memahami artinya. Khalid bin Ma’dan berkata,”sesungguhnya oang yang membaca Al-Qur’an mendapatkan satu (1) pahala dan orang yang mendengarkannya mendapatkan 2 (dua) pahala.”Qatadah berkata,”Tidaklah orang duduk membaca Al-Qur’an, kemudian bangun, melainkan mendapatkan tambahan dan pengurangan. Kemudian dia membaca,”Dan kami turunkan Al-Qur’an sebagai obat dan kasih sayang bagi orang-orang yang beriman da tidak akan menambahkan bagi orang-orang zalim, selain  kerugian.”

Tasbit bin Ajlan Al-Anshari berkata:”Sesungguhnya Allah akan menurunkan azab kepada penghuni bumi, namun tatkala mendengar anak-anak belajar Al-Qur’an, maka dipalingkannya dari mereka.”

5.       Mencari Kesembuhan

Obat terbaik adalah Al-Qur’an,”Sabda Nabi Saw. Bila hati kita lesu, iman kita melemah dan jiwa kita gundah, maka bacalah Al-Qur’an. Bila fisik kita sakit, berobatlah dan minum air sambil membacakan Al-Fatihah. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah murid Imam Ibnu Taimiyah sering melakukan pengobatan dengan membaca Al-Fatihah dan membuktikan kemanjurannya.

Sidang Jum’at rahimakumullah


Demikian semoga memberikan hidayah dan taufik kepada kita, sehingga dapat membaca Al-Qur’an siang dan malam, pagi dan sore. Kalau kita merasa rugi bila dalam satu hari tidak membaca berita Koran atau internet, maka mengapa tidak merasa rugi bila satu hari terlewatkan membaca Al-Qur’an. Membaca Al-Qur’an merupakan tradisi Nabi saw dan para sahabatnya. Tradisi para kiyai dan santrinya dan tradisi kita semua, umat Islam dimanapun dan apapun profesinya. Wa Allahu a’lam bi Ash Shawab
(diambil dari buku 'khutbah Jum'at Pesantren, Kementerian Agama RI)

Senin, 08 Mei 2017

KARAMAH MENGAKRABI AL-QURAN

Cover depan Al-Qur'an (source Google)
Al-Qur’an penuh dengan hikmah. Di dalam Al-Qur’an ada kebijaksanaan dan miracle (sesuatu yang luar biasa dan menakjubkan). Sahabat Nabi SAW bernama Usaid bin Hudhair melihat 2 (dua) gumpal cahaya turun dari langit, sementara kudanya terus meringkik dan bergerak-gerak. Ketika hal itu diceritakan kepada Rasulullah SAW, beliau bersabda,”Dua gumpal cahaya itu adalah dua (2) malaikat yang mendekatimu karena ingin mendengar bacaan Al-Qur’an mu.” Abdullah bin Mas’ud punya pengalaman lain. Ia membacakan suatu ayat ke telinga orang gila, yang kemudian langsung sembuh. Rasulullah Saw yang melihat kejadian itu langsung bertanya,”Ayat apa yang kaubacakan?”
 Abdullah bin Mas’ud membacakan ayat 115 Surat Al Mukminun yang Artinya: "Apakah kamu mengira Kami menciptakan kamu secara main-main, dan kamu tidak akan di kembalikan kepada kami?

Rasulullah Saw bersabda,”Jika ayat itu dibacakan kepada sebuah bukit dengan Himmah (konsentrasi yang kuat), niscaya bukit itu bisa berpindah.”Al-Qur’an memang berfungsi sebagai obat, baik bagi jika maupun fisik.

Al-Qur’an itu mulia dan orang yang mendekatinya menjadi mulia. Orang yang selalu membaca Al-Qur’an , belajar untuk memahami, menghapal dan mengamalkannya, maka hidupnya menjadi mulia. Mulia bisa berarti dihormati dan tidak direndahkan orang. Mulia juga di hadapan malaikat. Rumah yang selalu dibacakan Al-Qur’an terlihat oleh Al-Qur’an bercahaya. Adapun  rumah yang tidak dibacakan Al-Qur’an di dalamnya, maka terlihat gelap oleh malaikat. Semakin sering kita membaca Al-Qur’an didalam rumah, maka cahaya rumah tersebut menjadi semakin benderang dalam pandangan para malaikat. Menakjubkan.

Suatu ketika di Mekah di berlakukan peraturan untuk kuburan yang sudah mencapai batas wakt tertentu, dan diantaranya makan Syekh Nawawi Banten yang karyanya banyak dikaji di pesantren. ketika makam Syekh Nawawi digali ternyata jasadnya masih utuh dan kondisinya tetap seperti ketika pertama kali dimakamkan. Padahal udara disana sangat panas, mestinya mayat cepat hancur.  Makamnya pun akirnya tidak diganggu.

Jasad Sayid Ali Al- ‘Uraidy, seorang ulama besar yang menurunkan banyak habib yang kemudian hijrah dan bermukim di Indonesia, ketika digali kuburannya juga masih tetapi utuh. Begitu juga dengan  tubuh Syekh Ibnu Hajar AL-Haitami, ahli fiqh abad pertengahan dan tubuh sayid Amin al-kutbi, ulama besar ahli tasawuf, guru besar di Haramain (Mekah-Madinah) sekitar Tahun 1945.
Al-Qur'an dan Tasbih (source Google)

Kiyai umar, murid kiyai Moenawir, setelah empat (4) tahun meninggal dunia mendatangi kemenakannya melalui mimpi. Kiyai Umar yang hafal Al-Qur’an meminta agar kemenakannya memperbaiki selimutnya. Usai shalat subuh, kemenakannya yang bernama kyai Rozaq segera berziarah ke makam pamannya, kiyai umar. Ternyata sebagian makam tersebut amblas karena terguyur air hujan, dan kain kafanya terkoyak. Artinya, almarhum masih berkomunikasi, dan kain kafannya belum hancur, hanya terkoyak.

KH muntaha, pengasuh pondok pesantren Asy-‘ariyah, Kalibeber, Wonosobo dalam kudeta G 30S/PKI termasuk salah seorang yang akan diculik. Namun anehnya, ketika para pencuik menyatroni rumahnya di komplek pesantren, KH MUntaha tidak ditemukan. Padahal, ketika itu beliau tengah duduk diruang tamu sambil memperhatikan para penculik yang menggeledah rumahnya. Karomah tersebut diberikan oleh Allah kepada para kiyai penghafal Al-Qur’an, karena mereka selalu istiqomah men- daras Al-Qur’an dalam berbagai aktifitas, seperti jalan-jalan duduk, menemui tau, dan lainnya.

Orang-orang ayng akrab dengan Al-Qur’an diberi keamanan oleh Allah bukan hanya pada saat hidup, saat tubuh dan ruhnya masih menyatu, namun juga saat sudah meninggal dunia. Para penghafal Al-Qur’an tubuhnya tidak disentuh mulut cacing tanah, belatung, kalajengking, semut, dan lainnya. Bahkan, ada juga yang saat digali tubuhnya bukan hanya masih utuh, namun dalam posisi sujud kepada Allah. Allah memperlihatkan kekuasaan-Nya.
Al-Qur’an ini menakjubkan. Seorang perawi hadits yang tuli tidak bisa mendengar apa-apa, tetapi ia dapat mendengar orang yang membaca Al-Qur’an dengan sangat jelas. Salah seorang ustadz ketika habis kontrakan melihat salah satu villa di Bandung ada sebuah rumah yang ditandai mau dijual. Ia menanyakan harganya. Pemilih rumah itu menjawab:”165 Juta rupiah, tetapi kalau ustadz berminat silahkan 80 juta”. Ustadz ini setuju, ia mendapat pinjaman dari orang tuanya untuk DP (down Payment). Kekurangannya, Ia juga masih bingung darimana uang untuk membayarnya? Ia tetap bekerja dan tetap riyadhah. Ia bertekad akan menghatamkan Al-Qur’an setiap minggu sekali selama tiga (3) bulan. Biar do’a mustajab dan ces pleng. Setelah ia mengkhatamkan Al-Qur’an sebnayak 4 kali, Alhamdulillah, diberi kemudahan oleh Allah sehingga dapat melunasinya.

Hadirin yang berbahagia

Untuk akrab dengan Al-Qur’an, setidaknya bacalah selalu Al-Quran. Bacalah dengan adab. Belajarlah dengan Imam malik yang ketika akan membaca hadits Rasulullah Saw, menyisir rambutnya terlebih dahulu, mengenakan baju yang rapih dan dilengkapi dengan olesan minyak wangi, setelah itu duduk dengan sopan dan mulai memulai membaca hadits nabi Saw. Adapun adab dalam membaca Al-Qur’an ialah sebagai berikut:

1.    Hendaklah berwudhu untuk membersihkan lahir dan batin. Dengan berwudhu, maka dosa-dosa kecil akan berguguran dari mata, telinga, tangan, kaki, mulut, dan sebagainya. Disamping tentu saja, ada kesegaran karena setuhan air kedalam kulit dan ada kesejukan dan fresh

2.    Tempat duduk yang bersih dan suci, seperti masjid. Mulut juga hendaknya bersih. Diutamakan gigi disikat terlebih dahulu biar terasa enak dan bersih

3.    Menghadap kiblat

4.    Ta’awudz atau meminta pertolongan dari Allah dai godaan syetan yang terkutuk. Syetan pandai sekali menggoda manusia, termasuk memalingkan niat baik kita kea rah yang salah. Syetan dapat mengipas-ngipasi kita agar berbuat riya dengan bacaan Al-Qur’an kita, sehingga tidak dapat mendapatkan pahala dan ridha Allah. Syetan tidak dapat kita lawan sendirian, sebab ia tidak terlihat oleh kita, sementara kita dapat terlihat olehnya. Pekerjaan kita banyak, sementara pekerjaan syetan ialah satu menggoda kita agar jauh dari Allah. Kita tidak akan dapat selamat dari tipu daya syetan, kecuali jika Allah memberikan perlindungan-Nya kepada kita

5.    Membaca dengan tartil, yakni tenang, perlahan, tidak tergesa-gesa dan sesuai dengan ilmu tajwid

6.    Memahami dan manghayati bacaan dengan melakukan apa yang dikehendaki oleh ayat yang dibaca. Misalnya, saat membaca ayat tasbih, kita bertasbih. Membaca do’a dan istigfar, kita berdoa dan meminta ampun. Membaca ayat yang memceritakan siksa neraka, kita meminta perlindungan denga membaca “audzu billahi min Dzalik (aku memohon perlindungan dari hal itu). Membaca ayat yang menceritakan surga, maka berdoa Allahummarzuqna (Ya Allah, karuniakanlah kepadaku), dll

7.    Membaca nada dan suara yang merdu. Diutamakan membaca Al-Qur’an di akhir malam atau saat fajar, dan senantiasa diiringi do’a kepada Allah agar dikaruniai pemahaman atasnya

8.    Tidak menghentikan bacaan hanya karena hendak makan atau berbincang-bincang. Hentikan bacaan di tempat yang telah ditentukan. Dan lebih baik bila diakiri dengan do’a.

Bacalah Al-Qur’an sampai khatam. Bila sudah khatam, bacalah mulai dari awal lagi sampai khatam lagi dan terus berulang-ulang. Karena orang yang khatam Al-Qur’an do’a mustajab dan diamini 4000 malaikat. Sa’ad bin Abi Waqqas yang bidikan panahnya selalu tepat dan do’a nya selalu mustajab berkat do’a Nabi Saw kepadanya, berkata:”Siapa yang khatam Al-Qur’an pada waktu siang hari, maka malaikat mendo’akannya sampai sore hari. dan barang siap yang khatam Al-Qur’an pada waktu malam, maka malaikat mendo’akannya sampai pagi.” Nabi Saw juga menegaskan, “siapa yang embaca Al-Qur’an samai khatam, maka ia mempunyai do’a mustajab, baik langsung maupun yang ditangguhkan.” Menakjubkan. Karomah apakah yang lebih mustajab dari do’a yang mustajab? Dengan do’a mustajab, seseoarang dapat melakukan keajaiban keajaiban yang tidal dapat dijangkau dengan akal. Itulah pertolongan Allah yang melakukan apa yang dikehendaki-Nya.
 
Santri sedang mendaras Al-Qur'an didepan Ustadz (source google)
Hadirin yang dirahmati oleh Allah

Adaun hal-hal yang perlu kita perhatikan saat khatam Al-Qur’an ialah:

1.    Sunah berpuasa pada hari khataman berdasarkan Ibnu Abi Dawud
2.    Mengundang keluarga, kerabat, teman dan tetangga untuk menyaksikan khataman. Hal ini dicontohkan oleh sahabat Anas bin Malik. Tokoh tabi’in, Mujahid menceritakan, para sahabat berkumpul untuk khatam Al-Qur’an. Bila disertai dengan menyediakan hidangan tentu baik sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT, di samping demi menghormati tamu yang datang memberikan do’a restu
3.    Bertakbir sejak Surat Adh-Dhuha hingga surat terakir. Hal ini merupakan tradisi orang-orang Mekah dahulu. Hadits tentang ini diriwayatkan oelh Al-Baihaqi dan Ibnu Khuzaimah menceritakan dari jalur Ibnu Abi Bazzah. Kata Ibnu Abi Bazzah, “Aku mendengar dari Ikrimah bin Sulaiman berkata,”Aku membaca Al-Qur’an pada Ismail bin Abdullah al-Makki berkata kepadaku,”Bertakbirlah sehingga tamat. Sesungguhnya aku membaca Al-Qur’an pada Abdullah bin katsir dan memerintahanku bertakbir hingga tamat.”Abdullah  bin Katsir berkata,”aku membaca di depan Mujahid. Dia juga memerintahkan hal itu.”Mujahid menceritakan bahwa dirinya membaca di depaan Abdullah  bin Abbas dan Abdullah bin Abbas memerintahkan hal yang sama. Abdullah bin Abbas juga menceritakan bahwa dirinya membaca Al-Qur’an di depan sahabat Ubai bin Ka’ab dan Ubai bin Ka’ab memerintahkan dirinya bertakbir ketika sampai pada surat Adh- Dhuha hingga surat terakir. Hadits ini juga diriwayatkan oleh al- Hakim. “Jika engkai tidak bertakbir, maka engkau telah kehilangan satu sunnah dari sunnah-sunnah Nabimu,” Demikian komentar Muhammad bin Idris Asy- Syafi’i. Bagaimana bentuk kalimat takbirnya, As-Syutuhi menyebutkan bahwa bentuk kalimat takbir yang dibuat menyela-nyela anatar surat ialah Allahu akbar la ilah illa Allah wa Alahu akbar. Tradisi yang berlaku umum kini ialah mengumpulkan dua (2) kalimat itu, yaitu Allahu akbar la ilaha illa Allah wa Allahu akbar
4.    Mengulang surat Al- Ikhlas yang berintikan tauhid sebnyak tiga (3) kali. Dimaksudkan untuk menambal catat atau kekeliruan yang dilakukan selama membaca Al-Qur’an
5.    Berkelanjutan, Rasulullah bersabda, yang artinya:”Sebaik-baik amal menurut Allah ialah amal yang begitu selesai (sampai pada tujuan) segera berangkat lagi, yaitu orang yang bergerak dari awal Al-Qur’an hingga selesai, dan setiap kali selesai dia memulai lagi.” (HR. Tirmidzi).
Ad-Darimi meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas dari Ubai bin ka’ab ra, sesungguhnya Nabi Saw bila usai membaca Qul ‘audzu birabbin naas (surat An-Nas) beliau menyusuli dengan membaca al-Hamdu (surat al-Fatihah), disusul kemudian dengan membaca surat Al-Baqarah hingga Ulaika hum al-muflihun (Surat Al- Baqarah ayat 5). Setelah itu beliau membaca do’a khatam Al-Qur’an dan selesai.
6.    Berdo’a. nabi SAW bersabda, yang artinya:”Barang siapa yang telah khatam membaca Al-Qur’an, maka dia memiliki do’a yang mujarab/mustajab.” (HR. Thabrani).

Di hadits lain juga disebutkan:”Pada saat khatam Al-Qur’an diyakini banyak rahmat diturunkan.” (Mujahid). Mengenai do’a apa yang dibaca setelah selesai atau khatam membaca Al-Qur’an tidak didapat pasti nash yang menerangkannya. Atas dasar itu berarti boleh berdo’a dengan do’a apa saja yang abik, agar dipenuhi hajat dunaiawi dan ukhrawi.

Hadirin yang dirahmati Allah


Demikian mudah-mudahan kita dapat akrab dengan Al-Qur’an, baik dengan menghapalkan maupun minimal merutinkan membacanya sampai khatam, baik seminggu sekali, sebulan sekali, dua bulan sekali, atau kurang dari itu, sehingga mendapatkan do’a mustajab dan diberi pertolongan oleh Allah SWT, amien. Wa Allahu a’lam  bi Ash-Shawab
(diambil dari buku 'khutbah Jum'at Pesantren, Kementerian Agama RI)

Rabu, 03 Mei 2017

MEMBANGUN KERANGKA KEILMUAN IAIN

Perspektif Filosofis

oleh: Mulyadhi Kartanegara


Dunia selalu bergerak dan berubah. “Kita”, kata Heraklitus, “tidak pernah menginjak air sungai yang sama dua kali.” Dengan nada yang sama Henri Bergson (w. 1941) memberikan realitas sebagai “kesinambungan menjadi” dan masa kini dalam kesinambungan tersebut sebagai bagian quasi-inetantaneus yang dipengaruhi oleh persepsi kita dalam masa yang mengalir. Namun, gerak kehidupan cenderung bergerak ke arah yang lebih baik dan lebih maju. Rumi berkata: “Segala sesuatu cinta pada kesempurnaan, maka ia pun meronta ke atas laksana tunas.” Mullah Shadra juga mengatakan bahwa seluruh dunia fisik, bahkan psikis dan imajinal yang bergerak ke atas hingga arketip-arketip yang tidak bergerak dan bercahaya, selalu dalam gerak dan menjadi.” Semua inilah yang kita namakan dinamika kehidupan.

Dinamika atau perubahan ini merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa kita bantah dan telah menjadi sifat dasar dari segala yang ada di muka bumi, termasuk manusia dan lembaga-lembaga yang ia bangun. Semua lembaga, baik keagamaan, negara maupun kemasyarakatan, tidak ada yang luput dari pengaruh dinamika kehidupan ini. Bahkan, kelestarian lembaga-lembaga itu sedikit banyaknya tergantung dan dipengaruhi oleh sejauh mana mereka dapat menyesuaikan diri dengan irama perubahan tersebut.

UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Sebagai lembaga pendidikan, IAIN juga tidak luput dari “hukum” tersebut; kalaupun mampu mengikuti irama perubahan itu, maka insya Allah ia akan “survive”, tetapi kalau lamban sehingga tidak bisa mengejarnya, maka cepat atau lambat lembaga akan tertinggal dan ditinggalkan.

Oleh karena itu, agar lembaga ini tetap “survive” maka kita harus berani mengadakan perubahan-perubahan esensial secara periodik. Tetapi kalau kita ingin “maju” (berkembang) dan bukan hanya “survive”, maka kita harus mengadakan perubahan-perubahan yang lebih fundamental untuk mengadakan “antisipasi” ke masa depan sesuai dengan arah kecenderungan yang berkembang.

IAIN sangat beruntung memiliki tokoh kharismatik seperti Prof. Dr. Harun Nasution yang pada tahun 70-an dan 80-an telah mengadakan “reformasi” fundamental terhadap IAIN, dan keteguhan/ketetapan hati dan kepercayaannya terhadap kebenaran dari ide-ide dan tindakannya membuat ia “tahan banting” terhadap segala macam kecaman dan kritik yang destruktif, dan pada akhirnya semua orang mengerti dan mengakui pen-capaiannya yang agung.
Akan tetapi, karena tidak ada yang bisa mengelak dari hukum dinamika kehidupan –yang belakangan ini cenderung semakin cepat–, maka bahkan ide-ide dan gebrakan-gebrakan dinamis almarhum Harun Nasution sudah agak “tertinggal” oleh jaman, dan itu dirasakan hampir di semua bidang keilmuan Islam, terutama seperti yang kita lihat dalam bidang filsafat. Oleh karena itu, untuk tetap bisa “survive”, bahkan kalau bisa “maju dan berkembang”, maka dalam memasuki millenium ketiga ini, mau tidak mau IAIN harus mengadakan perubahan-perubahan yang fundamental untuk mengantisipasi arus besar yang akan melanda pemikiran dunia global maupun regional, dan terutama pemikiran keagamaan dan filosofis di negara kita sendiri. Untuk itu, barangkali kita juga harus merumuskan ulang visi dan misi dari lembaga pendidikan tinggi Islam.
 
Metafisika dan Epistemologi Islam
Salah satu definisi metafisika adalah “upaya untuk mengeksplorasi dunia non-indrawi, yang berada di seberang dunia pengalaman”. Jadi, metafisika merupakan cabang filsafat yang mencoba menjelajahi dunia rohani atau alam gaib, yang menurut Islam harus diyakini kebenarannya oleh setiap muslim, seperti Tuhan, akhirat, roh, alam barzah, malaikat, surga, neraka dan sebagainya. Agama Islam mewajibkan seluruh umatnya untuk mempercayai yang gaib tersebut dengan sepenuhnya; tentu saja kepercayaan ini tidak bisa diajarkan secara dogmatis belaka, seperti yang sudah-sudah. Namun, harus disampaikan melalui argumen-argumen rasional, yang rupanya telah menjadi tuntutan jaman, melalui analisis yang logis dan sistimatis. Oleh karena itu, IAIN sebagai lembaga akademis yang menekankan pendekatan intelektual sekaligus sebagai lembaga religius yang menekankan spiritualitas, seharusnya memiliki visi (cara pandang) metafisika yang handal.
Keharusan IAIN memiliki pandangan/visi metafisika paling tidak disebabkan oleh dua sebab yang fundamental. Pertama: sejak dunia menginjak masa modern, dunia metafisik/gaib mendapat serangan yang gencar dan radikal dari para ilmuwan dan pemikir/filosof Barat sekuler. Tuhan, misalnya, telah disingkirkan begitu saja dalam sistem astronomi Pierre de Laplace (w.1827), karena dalam bukunya yang  terkenal Celestial Mechanism, ia menjelaskan proses kejadian alam melalui teori Big-Bang-nya dan mekanisme kerja alam setelah penciptaannya, tanpa sepatah kata pun yang menyingung nama Tuhan. Dan ketika Napoleon, kaisar Prancis yang hidup sejaman dengannya, menanyakan hal tersebut, maka sang astronom menjawab: “Je n’ai pas besoin de cat hypothese” (saya tidak memerlukan hipotesis seperti itu). Jadi, dalam pandangan Laplace, Tuhan tidak lebih dari sebuah “hipotesis”, bahkan “hipotesis” yang tidak diperlukan.

Perpustakaan IAIN Samarinda


Hal serupa juga dilakukan oleh Charles Darwin (w. 1882), seorang ahli biologi yang terkenal di Inggris. Dalam otobiografinya, misalnya, ia mengatakan bahwa kita tidak perlu lagi merujuk kepada Tuhan (sebagai pencipta) kala menjelaskan terbentuknya engsel yang indah dari seekor kerang, karena semuanya telah dapat dijelaskan secara ilmiah dengan hukum seleksi alamiah.10  Jadi, jelaslah bahwa menurut kedua ilmuwan Barat yang terkanal itu, Tuhan telah berhenti sebagai pencipta dan juga sebagai pemelihara alam, dan sama sekali tidak diperlukan dalam penjelasan ilmiah mereka. Fungsi Tuhan sebagai pencipta dan pemelihara alam, telah mereka gantikan degan hukum alam, yang dalam sistem astronomi Laplace disebut sebagai “hukum mekanisme yang mengendalikan alam semesta”, dan dalam sistem biologi Darwin sebagai “hukum seleksi alam” yang bertanggung jawab atas munculnya berbagai “species” yang ada di muka bumi ini.

Serangan terhadap alam gaib/metafisika juga muncul dari Sigmund Freud (w. 1939), bapak psikoanalisis, dan Emile Durkheim (w. 1917). Freud memandang bukan saja Tuhan, bahkan ajaran-ajaran agama lainnya, sebagai ilusi. Dalam bukunya The Future of an Illusion, ia menganggap agama lebih sebagai ilusi (karena berasal dari keinginan-keinginan manusia), ketimbang mencerminkan realitas obyektif di luar kesadaran manusia. Menurut Freud, ide-ide agama bukanlah pengendapan-pengendapan  pengalaman atau hasil akhir dari pemikiran, melainkan ilusi-ilusi yang memenuhi keinginan-keinginan manusia yang paling tua, paling kuat dan paling mendesak. Apa yang menjadikan ide-ide itu menjadi “ilusi” adalah kenyatan bahwa mereka berasal dari keinginan-keinginan manusia, sedangkan rahasia kekuatan mereka berada dalam keinginan-keinginan tadi.11  Feud melihat ide-ide keagamaan sebagai ilusi, karena berasal dari (atau semacam proyeksi) keinginan manusia. Demikian juga  Emile Durkheim, seorang sosiolog modern Prancis,  melihat bahwa esensi kekuatan norma-norma (religius) terletak pada kesakralannya. Dalam karya utamanya The Elementary Form of Religious Life, ia menyatakan bahwa konsep seluruh kesakralan berasal dari pengalaman individu dari norma-norma sosial. Apa yang oleh manusia disebut Tuhan, sesungguhnya adalah masyarakat (society) yang dilihat dari pandangan subyektif terhadap semua karasteristik yang biasanya dianggap berasal dari Tuhan.12 

Demikianlah beberapa contoh ide ilmuwan Barat yang menyerang berbagai pondasi metafisik secara rasional-filosofis. Kita harus memberi jawaban yang rasional pula, jika kepercayaan kita terhadap alam gaib/metafisika tidak mau dianggap sebagai ilusi/angan-angan belaka, lantas dicampakkan oleh orang-orang modern yang telah cukup dalam dipengaruhi oleh ilmuwan-ilmuwan tersebut di atas, yang bagi para pengikutnya yang luas dipandang sebagai nabi-nabi ilmu pengetahuan. Namun, hingga hari ini IAIN belum mempersiapkan visi metafisik tentang hal tersebut yang sangat dibutuhkan masyarakat.

Sebab kedua yang menyebabkan IAIN perlu memiliki visi metafisik yang jelas, adalah adanya kebutuhan yang semakin mendesak bagi orang-orang modern, baik Barat maupun Timur, terhadap bangun metafisika yang kokoh, tempat berlindung orang-orang beriman dan menjunjung tinggi spiritualitas. Setelah masa Perang Dunia kedua, terdapat kecenderungan yang semakin jelas dari kaum intelektual Barat terhadap metafisika. Dalam dunia/bidang metafisika dan astronomi sendiri telah ada kecenderungan yang semakin kuat terhadap hal-hal yang bersifat metafisik. Fisikawan kontemporer Barat, pengarang buku God’s Wispher and Creation’s Thunder, menyebutkan pandangan-pandangan Jalal al-Din Rumi (w. 1274), seorang penyair sufi Persia, untuk melengkapi dimensi batin/esoterik dari realitas sejati yang mana fisika modern, menurut pandangan buku tersebut, hanya mampu mengungkapkannya dari dimensi lahir/eksetorik belaka dan karena itu hanya bersifat parsial.13  Demikian juga Robert Jastrow pengarang buku God and Astronomers, melihat perkembangan-perkembangan yang menarik pada bidang astronomi, karena implikasi-implikasi religiusnya. Menurut dia, berbagai ilmu tidak bisa bertahan untuk tetap pada tataran fisik, dan banyak diantaranya yang mencoba melakukan pendakian ke dunia metafisik, yang disebut sebagai gunung ketidaktahuan (montain of ignorance). Di akhir karyanya, ia menyatakan: “ilmuwan telah (mencoba) mendaki gunung ketidaktahuan (metafisika), dan ia hampir mencapai pucaknya yang tertinggi. Namun, kala ia mengangkat dirinya ke atas, ia disambut oleh sekelompok teolog yang telah duduk di sana selama berabad-abad.”14  Inilah kisah menarik yang diceritakan oleh Jastrow, yang menggambarkan para ilmuwan dengan para agamawan. Jadi, jelaslah betapa fisikawan kontemporer membutuhkan bimbingan metafisika dari para teolog/agamawan.       

Perkembangan metafisika, atau lebih tepatnya, kebangkitan kembali metafisika di Barat, semakin kentara dengan adanya upaya untuk bisa menghidupkan kembali Philosophia Perennis, yang dipimpin oleh Rene Goenon, seorang ahli metafisika abad dua puluh dari Perancis, yang kemudian masuk Islam dan kemudian menghabiskan bagian akhir hidupnya di Mesir.15  Peranan yang dimainkan oleh Goenon dalam kebangkitan metafisika dan filsafat perenial, tercermin dari munculnya beberapa ilmuwan dan metafisikawan terkenal yang mengaku sebagai murid Goenon. Misalnya, Frithjof Schuon, Titus Burckhardt, Martin Lings, Marco Pallis dan Seyyed Hossein Nasr.16  Sebagian besar adalah kaum intelektual dan ilmuwan yang telah tersadarkan dari nestapa kehidupan modern, lalu mencari dan mendapatkan hikmah dari Timur, yakni tradisi-tradisi religius yang agung, seperti Taoisme, Budhisme, dan Islam, khususnya Sufisme.

Dari apa yang kita sajikan di atas, bisa kita tarik kesim-pulan bahwa dunia modern berada di persimpangan jalan antara pengetahuan sekuler masa lalu. Kondisi yang demikian ini masih dominan di kalangan ilmuwan. Ini sangat berbahaya terhadap sistem metafisika religius dan arus kontemporer ke arah kebangkitan kembali tradisi keagamaan Timur yang masih berlangsung dan semakin berpengaruh di kalangan tertentu, yakni dunia intelektual Barat. Kedua fenomena ini, tentunya, perlu kita sikapi dengan membangun metafisika yang kokoh dan besar dengan dua tujuan sekaligus: (1) menjawab tantangan metafisika yang dilancarkan oleh ilmuwan-ilmuwan Barat sekuler yang secara ilmiah mencoba mendongkel pondasi metafisika religius; (2) memberi jawaban yang memadai bagi tuntutan yang terus berkembang, terutama dalam memasuki milenium ketiga ini, terhadap visi metafisika yang seimbang, logis dan rasional yang bisa memuaskan kaum intelektual yang sedang mencari spiritualitas di dunia Timur. Saya berharap bahwa cukuplah kiranya dua fenomena yang menarik ini menjadi alasan perlunya IAIN untuk memiliki visi metafisika yang seimbang, tetapi cukup dapat diandalkan dari sudut logika dan filosofis, serta tidak bertentangan dengan semangat agama.

Kini, sampilah kita pada persoalan pokok, yaitu visi metafisika yang bagaimana yang kita butuhkan. Tentunya, sebagai lembaga yang melibatkan banyak pihak, IAIN tidak bisa menganut satu sistem metafisika tertentu saja, misalnya metafisika Ibn Sina (w. 1037). IAIN harus memiliki visi metafisika yang mengayomi berbagai aliran metafisika yang pernah dikembangkan oleh umat Islam, sejauh tidak melanggar atau menolak ajaran-ajaran pokok Islam. Dengan demikian, metafisika yang dikembangkan di IAIN bisa mengambil bentuk Avicennian, Suhrawardian, Shadrian, Farabian, maupun Ibn Arabian. Tentunya, bila benar-benar dikembangkan, maka wacana metafisika di IAIN akan semakin kaya. Ini terwujud, bila sistem-sistem tersebut tidak melanggar prinsip dasar agama Islam.

Selain metafisika, IAIN juga harus merumuskan visi epistemologinya yang jelas. Selama ini, epistemologi atau “teori ilmu pengetahuan” Islam merupakan bidang yang sangat diabaikan. Sebagai ilustrasi, UI Press menerbitkan sebuah buku kecil dengan judul Epistemologi Islam. Selain kecil, buku ini juga tidak cukup subtansial memuat ajaran-ajaran epistemologi Islam.17  Padahal, khazanah filsafat Islam sangat kaya dan potensial untuk disusun menjadi epistemologi Islam yang komprehensif.

Memasuki milenium ketiga, terutama berkaitan dengan rencana merubah IAIN menjadi universitas, arus kajian yang lintas disiplin akan semakin ramai memasuki kampus ini. Dengan dibukanya jurusan ilmu-ilmu umum, seperti matematika, astronomi, fisika, biologi, psikologi, dll., serta kemungkinan besar IAIN akan merekrut dosen-dosen dari beberapa universitas umum, seperti UI, ITB dan IPB. Tenaga-tenaga pengajar ini boleh jadi benar-benar menguasai bidang mereka masing-masing. Tetapi, dari sudut epitemologi, mereka pasti mempunyai pandangan yang berbeda satu sama lain. Kalau ini dibiarkan begitu saja, maka sudah bisa dibayangkan kebingungan yang akan dihadapi oleh seorang mahasiswa yang mendapat pengajaran dari pelbagai dosen dengan pandangan epistemologi yang berbeda, bahkan mungkin kontras satu sama lain. Misalnya, seorang dosen mengatakan bahwa sumber ilmu hanyalah inderawi, dan metodenya hanyalah observasi. Yang lain mengatakan bahwa sumber ilmu itu adalah inderawi, akal dan hati. Sementara yang lain mengatakan hanya inderawi dan akal.

Oleh karena itu, untuk mengantisipasi problem besar yang mungkin terjadi, IAIN harus merumuskan visi epistemologinya, yang tentunya, cocok dengan pandangan fundamental Islam. Setidaknya, visi epistemologi ini harus meliputi dua aspek utamanya: (1) ruang lingkup dan klasifikasi ilmu, (2) sumber serta metodologi ilmu. Melalui penjelasan keduanya, diharapkan setiap dosen memiliki pedoman yang jelas dalam membahas aspek-aspek teoritis ilmu pengetahuan apapun yang diajarkan.

Dua pertanyaan mendasar dalam setiap teori ilmu adalah pertama, “Apa yang dapat kita ketahui”, dan kedua, “Bagaimana kita mengetahuinya.” Pertanyaan pertama secara langsung berkaitan dengan lingkup dan obyek ilmu, sementara yang kedua terkait dengan sumber dan metode lain.

Dalam pandangan keilmuan Islam, obyek ilmu sama halnya dengan rangkaian wujud (eksistensi), baik yang gaib (metafisika) maupun yang lahir (fisik). Karena itu, ilmuwan-ilmuwan besar, seperti Ibnu Sina dan al-Biruni, mempunyai pandangan dunia yang melukiskan susunan wujud dari yang tertinggi (Tuhan) kemudian turun melalui akal atau entitas rohani (malaikat), serta jiwa dan benda angkasa, hingga yang terendah (alam dunia), atau apa yang disebut sebagai dunia di bawah Bulan. Susunan wujud seperti ini disebut kosmologi.

Berbagai wujud yang tersusun dalam kosmologi ini, lalu terpilah manjadi pelbagai obyek ilmu, lantas muncullah klasifikasi ilmu. Klasifikasi ilmu ini dipandang penting oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim, bukan sekadar untuk mengetahui lingkup pengetahuan manusia, bahkan untuk melihat hubungan antara suatu cabang ilmu dengan yang lainnya.18 

Yang terpenting dalam pembicaraan tentang lingkup dan obyek-obyek ilmu ini adalah bahwa setiap cabang ilmu mempunyai korelasi ontologis positif dengan obyek-obyeknya. Artinya, setiap obyek dari cabang ilmu itu harus diakui dan diyakini keberadaannya, apakah ia bersifat gaib (metafisik) maupun nyata (fisik). Misalnya, metafisika berkorelasi secara ontologis dengan obyek-obyek yang gaib, seperti Tuhan, Malaikat, jiwa, alam barzah, surga dan neraka. Obyek-obyek tersebut, yang oleh para filosof Muslim disebut sebagai obyek-obyek ma‘qûlî (intelligible), sementara oleh agamawan disebut alam gaib/rohani (supranatural), diakui serta diyakini keberadaannya oleh para sarjana Muslim (seperti tuntunan agamanya). Sebagaimana obyek-obyek mahsûsî (sensible) menjadi obyek dalam ilmu fisika, astronomi, kimia, biologi, antropologi, sosiologi, dll.

Pengakuan terhadap status ontologis obyek-obyek itu, baik yang ma‘qûlî maupun mahsûsî, pada gilirannya akan mengarah kepada pengakuan terhadap status keilmuan dari cabang-cabang ilmu yang masuk dalam klasifikasi/lingkup ilmu yang kita kembangkan. Hal ini perlu dikemukakan, mengingat banyak cabang ilmu yang telah dikembangkan para sarjana Muslim, seperti metafisika, kosmologi, eskatologi, mistisisme, dll., telah diragukan status ilmiahnya oleh para sarjana Barat modern, hanya karena keraguan mereka sendiri terhadap status ontologis dari obyek-obyek ilmu tersebut yang tidak bisa dibuktikan keberadaannya secara empiris melalui eksperimen.

Masalah epistemologi lain yang tidak kalah pentingnya adalah sumber dan metode ilmu yang berkaitan langsung dengan pertanyaan kedua, yaitu “bagaimana” atau “dengan apa” kita bisa mengetahui sebuah obyek ilmu pengetahuan. Pertanyaan ini mengacu pada “alat” atau “sumber”, yang dengannya manusia mampu mencapai pengetahuan tentang obyek-obyek yang berbeda sifatnya. Setiap epistemologi yang dibangun para sarjana Muslim, mesti menggagas setidaknya tiga sumber atau alat ilmu yang sama-sama diakui keabsahannya, yakni inderawi, akal dan hati (intuisi).

Melalui “inderawi” atau “persepsi indrawi” (sense-perception), bisa dikembangkan metode observasi berdasarkan data-data empiris dan eksperimental. Metode observasi ini telah dikembangkan oleh banyak ilmuwan muslim dalam berbagai disiplin ilmu alam, seperti kimia, astronomi, optik, dll. Metode observasi dan eksperimen berguna untuk menguji teori-teori lama sekaligus menemukan teori-teori baru.

Seperti telah disinggung di atas, selain panca indra, para sarjana Muslim telah mengakui akal sebagai sumber dan alat untuk menangkap realitas. Dari sini, mereka mengembangkan apa yang disebut sebagai metode rasional atau diskursif (bahtsî). Sebagaimana inderawi bisa menangkap obyek-obyek rohani (mahsûsî) atau metafisika secara silogistik, yakni manarik kesimpulan tentang hal-hal yang belum/tak diketahui (the unknown) dari hal-hal yang telah diketahui (the known). Dengan cara inilah akal manusia, melalui penalaran dan penelitian terhadap alam semesta, bisa mengetahui Tuhan dan hal-hal gaib lainnya.19 

Selain metode observasi dan rasional, para epistemolog Muslim juga mengakui metode lain untuk menangkap pelbagai realitas spiritual atau metafisika, yaitu metode intuitif atau eksperiensial (dzawqî), seperti yang dikembangkan oleh para sufi dan filosof Isyrâqî. Kendati sama-sama berfungsi untuk menangkap pelbagai realitas metafisika, tetapi terdapat perbedaan metodologis yang fundamental antara akal dan intuisi. Karena, akal menangkap obyek tersebut secara inferensial, sementara intuisi menangkapnya secara langsung (eksperiensial). Sehingga, ia mampu melintasi jurang lebar antara subyek dan obyek. Ciri utama epistemologi Islam adalah menggagas bahwa bukan hanya pengalaman indrawi yang dipandang “real”, tetapi juga pengalaman akal dan intuisi. Karenanya, masing-masing patut diperhatikan dalam visi epistemologi IAIN. Mengabaikan salah satu dari ketiganya, sama halnya dengan mengabaikan realitas itu sendiri. Kalau kita mengabaikan pengalaman intuisi, misalnya, maka dengan sendirinya kita akan mengabaikan pengalaman yang menjadi dasar kenabian. Demikian juga pengalaman mistik yang telah menjadi sumber kreatif spitualitas Islam.

Etika Islam
Melihat kondisi moral masyarakat akhir-akhir ini yang semakin menurun, maka sudah selayaknya IAIN memiliki visi etika yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Fakta menunjukkan bahwa hingga kini masih ada banyak kesalah-pahaman terhadap etika atau filsafat moral. Etika acapkali digagas sebagai aturan yang menuntun sebagian sikap masyarakat belaka, bahkan jarang dikaitkan dengan masalah kebahagian, rasionalitas dan pengobatan rohani. Karenanya, semakin penting peran IAIN dalam perumusan visi etika yang tegas dan jelas.

Dengan demikian, cara pandang etika IAIN setidaknya dapat meliputi tiga aspek: (1) Etika yang terkait dengan pencarian kebahagiaan, (2) Etika yang terkait dengan rasionalitas dan ilmu, (3) Etika sebagai Pengobatan Rohani.
Menurut para filosof etika Muslim, tujuan dari etika adalah memperoleh kebahagiaan,20  seperti tercermin dalam karya al-Farabi, Tahshîl al-Sa‘âdah. Mengkaitkan etika dengan kebahagiaan merupakan hal yang penting, karena setiap orang mengenyam kebahagiaan, dan etika bisa membawanya menuju kebahagiaan. Etika terkait dengan masalah baik dan buruk, benar dan salah.21  Etika ingin agar manusia menjadi baik,22  karena hanya dengan menjadi baiklah seseorang akan menjadi bahagia. Alasannya, orang baik adalah orang yang sehat mentalnya, dan orang sehat mentalnya bisa mengenyam pelbagai macam kebahagiaan rohani. Sama halnya, orang yang sehat fisiknya bisa mengenyam segala macam kesenangan jasmaninya, seperti merasakan pelbagai macam rasa makanan atau minuman yang disantapnya. Terkadang kita mengalami “mati rasa,” tidak bisa membedakan rasa manis,  asin atau pahit ketika kita flu atau menderita penyakit sejenisnya. Itu terjadi karena fisik kita sakit. Sebaliknya, bila fisik kita sehat, maka bukan saja kita bisa membedakan aneka rasa, bahkan dapat membedakan tingkat rasa, seperti kemanisan, kurang manis, atau tidak manis. Demikian pula, kalau jiwa kita sakit, misalnya ketika kita mengidap penyakit iri. Kita yang biasanya merasa bahagia dengan penghasilan kita yang biasa, tiba-tiba, karena rasa iri, kita tidak merasa bahagia kala tetangga kita lebih beruntung dari kita. Jadi, dalam hal ini penyakit iri (hasad) bisa menghapus rasa bahagia yang selama ini kita rasakan.

Dengan ilustrasi di atas, mudah-mudahan menjadi jelas betapa kalau jiwa kita sehat ––dengan kata lain kita baik dan berakhlâk al-karîmah–– maka kita akan merasakan dan mencapai kebahagiaan yang kita dambakan.

Sementara itu, ilmu dan rasionalitas juga memainkan peranan penting dalam etika, terutama dalam upaya kita mencapai kebahagiaan. Rasionalitas atau “akal” menempati posisi yang krusial dalam etika Islam. Nashîr al-Dîn al-Thûsî (w.1274), menyebut rasionalitas sebagai kesempurnaan (entelechy) manusia. Dalam rasionalitas terdapat perbedaan esensial antara manusia dan hewan;23 dan rasionalitas jualah yang dapat menghantar manusia menuju kebahagiaan. Adalah keliru, menurut Miskawayh (w.1030), untuk berasumsi bahwa manusia bisa memperoleh kebahagiaan dan kebaikan tanpa memperhatikan fakultas kognitif, mengesampingkan prinsip rasionalitas (akal), dan berpuas diri dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan akal.24 

Akal biasanya hanya dipandang memiliki fungsi kognitif belaka. Tetapi, menurut visi etika yang benar (seimbang), akal atau rasionalitas manusia juga punya fungsi manajerial (tadbîr). Dengan fungsi kognitifnya, akal mampu membangun ilmu pengetahuan teoritis yang sangat diperlukan untuk menerangi jalan hidup manusia. Tetapi, akal juga mempunyai fungsi mengatur. Al-Râzî (w. 925), dalam bukunya al-Thibb al-Rûhanî (Pengobatan Rohani), mengatakan bahwa “akal bukan saja merupakan daya yang memungkinkan seseorang memahami dunia sekelilingnya (memiliki ilmu pengetahuan), tetapi juga merupakan “prinsip yang mengatur” pada jiwa, yang berkat keunggulannya dapat menjamin terkekangnya hawa nafsu dan penyempurnaan akhlak.”25 

Nafsu yang mampu dikekang ekstrimitasnya oleh keunggulan akal —atau yang dalam termonologi psikologi modern disebut mental faculties—terdiri dari tiga: (1) al-nafs al-syahwiyah (nafsu sahwat); (2) al-nafs al-ghadlabiyah (nafsu kemarahan) dan (3) al-nafs al-nuthqiyah (nafsu rasional). Para pemikir etika Muslim percaya bahwa kebahagiaan atau kesem-purnaan bisa dirasakan ketika terjadi keseimbangan (equilibrium) di antara ketiga fakultas (nafsu) tersebut. Tetapi, karena keseim-bangan ini baru bisa tercapai, bila akal telah melaksanakan peran “manajerial”nya, yakni telah melaksanakan fungsi kontrolnya terhadap nafsu-nafsu manusia, maka akal atau prinsip rasionalitas ini merupakan syarat yang paling fundamental bagi tercapainya tujuan etika yaitu “kebahagiaan” atau yang sering juga disebut “kesempurnaan” manusia.

Kini, kita beralih menuju ilmu dan kaitannya dengan etika. Etika, menurut para filosof Muslim, merupakan salah satu bagian filsafat praktis, seperti halnya ekonomi dan politik.26  Sebagai ilmu praktis, etika merupakan aplikasi dari ilmu-ilmu teoritis atau yang biasanya kita sebut ilmu pengetahuan (‘ilm). Dikatakan bahwa ilmu berkenaan dengan pengetahuan tentang sesuatu sebagai-mana adanya (obyektif), sementara filsafat praktis (termasuk etika) berkenaan dengan pengetahuan tentang tindakan-tindakan voluntir, sejauh mereka mendorong tercapainya kebahagiaan manusia.27 

Dengan bentuk yang sederhana, hubungan ilmu dan etika (amal) dapat diumpamakan dengan hubungan antara “pelita” dan pejalan kaki. Ilmu, kata Nabi, adalah cahaya (al-‘ilm nûr) dan tentunya seredup apapun, cahaya sangat diperlukan oleh pejalan kaki yang sedang melakukan perjalanan tertentu di malam hari yang gelap. Sebagimana cahaya bisa membuat bagian-bagian yang gelap dan remang-remang menjadi terang, dapat dilihat dengan jelas. Demikian juga, ilmu dapat menerangi jalan yang sedang ditempuh oleh si pejalan kaki. Dengannya si pejalan kaki dapat mengetahui lubang-lubang atau jurang yang dijumpai dalam perjalanannya, sehingga ia dapat menghindari, supaya tidak terjerembab dan selamat sampai tujuan. Tetapi, kalau cahaya rembulan saja tidak diperolehnya, sedangkan malam sedang selap gulita, maka siapa yang akan menjamin bahwa ia akan sampai di tempat tujuan dengan selamat.

Kedua aspek ini, ilmu dan amal, tidak bisa dipisahkan dalam etika Islam. Memiliki ilmu saja tidak cukup menjamin seseorang bisa menjadi baik moralnya kalau tindakan moralnya, tidak cukup menjamin sesorang bisa menjadi baik, dan tindakannya tidak didasari pengetahuan. Sekalipun si pejalan kaki memiliki senter, tetapi kalau tidak digunakan, maka keberadaan senter (simbol ilmu) tersebut tidak ada gunanya. Itulah barangkali mengapa Nabi kita mengatakan bahwa ilmu yang tidak diamalkan, tidak ada gunanya, seperti pohon yang tidak berbuah.28  Demikian juga, amal saja tanpa ilmu, tidak akan tercapai tujuan yang diharapkan. Karenanya al-Farabi (w. 950) mengatakan bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa dicapai ketika terjadi perpaduan antara ilmu-ilmu teoritis dan ilmu-ilmu praktis,29 dengan kata lain antara ilmu dan amal. Pernyataan ini sekaligus merupakan kritik al-Farabi  terhadap Aristoteles yang percaya bahwa ilmu dapat membawa manusia menuju kebahagiaan.

Etika juga telah dipandang oleh para filosof Muslim sebagai pengobatan atau “kedokteran” rohani, sebagaimana tercermin dalam judul buku Thibb al-Rûhanî (Kedokteran Rohani), buah karya al-Râzî, seorang ahli kedokteran abad kesepuluh.30 

Peran etika sebagai kedokteran rohani sangat sifnifikan. Para filosof Muslim mensejajarkan etika dengan kedokteran, baik dilihat dari kepentingannya, maupun dari metodenya. Jika kita menganggap penting ilmu kedokteran untuk memelihara kesehatan tubuh kita, maka demikian juga kita sangat membutuhkan etika untuk memelihara kesehatan mental kita. Kalau pada saat ini lebih banyak orang yang datang ke dokter medis untuk memeriksakan kesehatan atau mengobati tubuhnya dibanding dengan yang datang ke ahli etika untuk mengkonsultasikan kesehatan mentalnya, dengan sendirinya, bukan berarti bahwa etika tidak penting. Mungkin, hal ini terjadi lantaran mereka tidak/belum mengetahui apa makna dan manfaat etika yang sebenarnya bagi dirinya. Atau, ia merupakan refleksi manusia modern yang lebih menekankan aspek jasmani ketimbang rohani. Keduanya bermuara pada kecenderungan materialistik, bukan pada fakta bahwa di jaman moderen ini etika dianggap tidak perlu. Dibanding manusia masa silam, manusia moderen jauh lebih memerlukan etika, karena krisis moral yang parah sedang melandanya, misalnya pembunuhan sadis, pemerkosaan masal, penjarahan dan lain-lain.

Perbandingan kepentingan antara etika dan kedokteran sebagai disiplin ilmu yang terurai di atas, bisa kita terapkan terhadap metode perawatan dan pengobatan dalam kedua disiplin itu. Metode pengobatan etika sama halnya dengan metode kedokteran yang bersifat preventif dan kuratif. Miskawaih, dalam bukunya Tahdzîb al-Akhlâk, mengatakan bahwa perawatan tubuh dibagi menjadi dua bagian, yaitu memelihara dan mengobati. Demikian juga dalam perawatan mental, yakni menjaga kesehatan agar tidak sakit, dan berusaha memulihkannya bila telah hilang dengan cara mengobatinya.31  Karenanya, dalam rangka memelihara kesehatan jiwa,  Miskawaih menyuguhkan lima kiat dalam merawat kesehatan mental: (1) Pandai-pandai mencari teman yang baik, agar tidak bergaul dengan orang-orang yang buruk tabiatnya. Karena, sekali bergaul dengan mereka, maka secara tidak sadar kita akan mencuri tabiat buruk mereka yang sulit untuk dibersihkan kala ia menodai jiwa kita; (2) Berolah fikir bagi kesehatan mental sama pentingnya dengan berolah raga bagi kesehatan badan. Karenanya, berolah pikir -dalam bentuk kontemplasi, refleksi, dll.- sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan mental; (3) Memelihara kesucian kehormatan dengan tidak merangsang nafsu; (4) Menyesuaikan rencana yang baik dengan perbuatan, agar kita tidak terjerat pada kebiasaan buruk yang merugikan; dan (5) Berusaha memperbaiki diri yang diawali dengan mencari dan mengenali kelemahan diri sendiri.32 

Selain memelihara kesehatan jiwa, etika juga berupaya mengobati penyakit yang menimpa mental, sehingga kesehatan mental dapat dipulihkan. Upaya ini dilakukan dengan mendiagnosis penyakit, mencari sebab musabab, lantas mengobatinya seefektif mungkin. Metode demikian disuguhkan al-Kindi (w. 866) dalam karyanya yang berjudul al-Hilâh li Daf’ al-Ahzân (seni menepis kesedihan). Di sini al-Kindi berupaya menganalisis sebuah penyakit jiwa yang disebut “kesedihan” (al-huzn). Pada mula pertama ia menyebutkan sebab terjadinya, seraya berkata bahwa “kesedihan adalah penyakit jiwa lantaran hilangnya yang dicinta dan luputnya yang didamba.”33  Lalu, al-Kindi menawarkan solusi pengobatannya, pertama, perihal hilangnya yang dicinta, al-Kindi menganjurkan untuk bisa memahami sifat dasar makhluk dunia yang fana. Apapun yang kita cintai di dunia ini akan musnah, maka janganlah mengharapkan mereka kekal abadi, karena hal itu sama dengan mengharap yang tak mungkin dan akan menimbulkan kesedihan. Kedua, yaitu luputnya yang didamba bisa diselesaikan dengan mengembangkan sikap hidup yang sederhana, suka menerima (qanâ‘ah), menyesuaikan keinginan dengan kemampuan dan kemungkinan yang kita miliki, agar tidak lebih besar pasak daripada tiangnya

Menjadikan IAIN Sebagai Pusat Pemikiran dan Filsafat Islam
Visi seluas dan setajam apapun tidak akan punya pengaruh seperti yang diharapkan, jika tidak diimplementasikan dalam bentuk-bentuk yang lebih kongkrit, atau dikembangkan dalam gerakan atau kegiatan-kegiatan yang relevan dan menunjang visi tersebut. Karena itu, visi yang telah ditawarkan pada bagian terdahulu perlu diwujudkan dalam bentuk Pusat Kajian Filsafat (pemikiran) Islam yang handal dan komprehensif dengan tujuan ganda: (1) memberi jawaban komprehensif dan rasional bagi tantangan dan kritik tajam dari para ilmuwan dan filosof Barat sekuler terhadap bangun metafisika yang berimplikasi terhadap sistem epistemologi dan etika Islam.34  (2) Mengantisipasi kebutuhan informasi perihal filsafat dan pemikiran Islam di masa datang. Ini terkait dengan bangkitnya kembali metafisika di Barat, dan pencarian hikmah dari tradisi keagamaan Timur (termasuk Islam, terutama aspek pemikiran dan spiritual) oleh para ilmuwan serta cendekiawan Barat.35 

IAIN Syekh Nurjati, Cirebon

Setiap lembaga pendidikan tinggi yang baik harus memiliki “Center of Exellence”. Sangat memungkinkan bagi IAIN untuk membuat dirinya sebagai pusat pemikiran dan kajian filsafat Islam, yang kelak akan menjadi kebanggaannya, lantaran: (1) betapa pun besarnya minat IAIN dan mahasiswanya terhadap filsafat  dan pemikiran Barat, tak kan mampu mengejar ketinggalan di bidang ini, misalnya, dari Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara. Sebagai lembaga pendidikan Islam, terasa janggal bila IAIN menjadikan filsafat “Barat” sebagai center atau point of exellence-nya. (2) Sebenarnya, IAIN  memiliki SDM yang handal, yang telah banyak dimanfaatkan oleh lembaga-lembaga lain, formal maupun non-formal, namun belum dimanfaatkan secara maksimal oleh IAIN sendiri. Kehandalan ini bukan hanya pada keluasan cakrawala berpikir, bahkan penguasaan bahasa asing yang sangat dibutuhkan, baik untuk menimba maupun mentransfer ilmu dan menerjemah,  dalam upaya menghimpun data dan informasi yang akan dibutuhkan oleh IAIN sebagi pusat studi filsafat dan pemikiran Islam. (3) Hal lain yang menunjang atau memungkinkan untuk membentuk IAIN sebagai Pusat Kajian Pemikiran Islam adalah semakin tersedianya bahan-bahan mental (material) yang sangat potensial untuk digali baik dari khasanah klasik Islam, maupun dari hasil-hasil pengkajian sarjana moderen terhadap pemikiran dan spiritualitas Islam.36 

Membentuk IAIN sebagai Pusat Kajian Filsafat dan Pemikiran Islam, sebagai mana STF Driyarkara sebagai Pusat Kajian Filsafat Barat dan Kristen, menunjuk kepada perlunya gebrakan-gebrakan baru yang signifikan dan mesti diperkuat pelbagai kebijakan, baik dari IAIN sendiri maupun instansi terkait. Kendati memerlukan biaya yang tidak sedikit, hal ini mesti direalisasikan. Sebab informasi dan data yang tersedia, terutama di bidang filsafat Islam, telah sangat tidak memadai. Karenanya, perlu dilakukan pelbagai pengembangan besar, demi tercapainya tujuan yang dimaksud.
Upaya di atas sekaligus menunjuk kepada upaya membuka (melalui penelitian dan pengembangan) pelbagai lahan filsafat yang sangat potensial untuk digali. Misalnya, pengenalan tokoh-tokoh filsafat yang belum begitu dikenal (the Minor Philosophers), penerjemahan karya-karya utama, pengembangan bidang-bidang tertentu dalam filsafat ––metafisika, epistemologi, etika dan politik–– dan pelbagai hal yang terkait dengan literatur filsafat Islam.

Pengenalan terhadap segelintir filosof utama Muslim (enam orang) oleh Harun Nasution dalam bukunya Filsafat dan Mistisme dalam Islam, kendati sangat berguna, namun sudah tidak memadai lagi untuk memenuhi kebutuhan IAIN sebagai pusat informasi pemikiran Islam. Penyajian ulang secara terus menerus sejak penerbitan awalnya tahun 1973, tidak mengalami perubahan dan penambahan selama lebih dari seperempat abad.  Ini mengesankan seolah-olah dunia Islam hanya memiliki sedikit filosof. Padahal, dunia Islam abad ketiga belas, sebagaimana dilaporkan Ibn Abî Ushaybi’ah dalam ‘Uyûn al-’anbâ’ fî Thabaqât al-Athibbâ’, telah memiliki lebih dari 350 filosof besar dan kecil.37  Tentunya, itu belum termasuk beberapa filosof lain yang diungkapkan biografer lainnya, seperti Syams al-Dîn Sahrarûzî dalam Nuzhat al-Arwâh wa Raudlat al-Afrâh, yang memuat biografi “Shaikh Isyrâqî” Suhrawardî al-Maqtûl (w. 1191), dan Dzâhir al-Dîn Bayhaqî dalam Târîkh Hukamâ’ al-Islâm.38 

Berarti, lahan garap filsafat di bidang tokoh (biografis) masih sangat luas dan dalam, lantaran masih ada ratusan tokoh filsafat, dengan corak pemikiran yang kaya dan berbeda-beda, yang belum diperkenalkan. Penggalian data dan informasinya bisa ditempuh melalui upaya: (1) kajian intensif (bahkan penerjemahan) beberapa karya biografis filosofis dan ilmiah yang pernah ditulis oleh para cendekiawan Muslim klasik, seperti tiga karya yang tersebut di atas, ditambah karya-karya biografis lain seperti al-Fihrist oleh Ibn al-Nadîm,39  Ikhbâr al-‘Ulamâ’ bi Akhbâr al-Hukamâ’ oleh Ibn Qifthî,40  dan Thabaqât al-Athibbâ’ wa al-Hukamâ’ oleh Ibn Juljul;41  (2) mencermati perkembangan kesarjanaan filsafat Islam komtemporer, baik oleh para sarjana Barat maupun Muslim, dalam monografi mereka berkenaan dengan para filosof Muslim tertentu yang belum begitu dikenal. Misalnya, perihal Abu Sulayman al-Sijistani oleh Joel L. Kraemer dalam The Philosophy in The Renaissance of Islam;42  perihal Abu al-Hasan al-Amiri oleh Everett K. Rowson dalam A Muslim Philosoher on the Soul and its Fate: al-Âmiri’s Kitâb al-Amâd ‘alâ al-Abad;43  atau Subhan Khalifat dalam Rasâ’il Abî al-Hasan al-Âmirî wa Syadzâtatuhu al-Falsafiyah44  yang membahas seluruh karya al-Âmirî yang ada. Juga perihal biografi dan pandangan Qutb al-Dîn Syîrâzî, seorang ahli kedokteran dan astronomi Muslim abad ke tigabelas Masehi, dikedepankan oleh John Walbridge dalam The Science of Mystic Lights: Qutb al-Din Shirazi and the Illuninationist Tradition in Islamic Philosophy;45  perihal Abû Ya‘qûb al-Sijistanî disajikan dalam karya terjemahannya  The Wellsprings of  Wisdom oleh Paul E. Walker;46  dan masih banyak monografi lain yang patut mendapatkan perhatian kita.

Cara lain yang lebih efektif dalam pengembangan lahan-lahan potensial Filsafat Islam adalah dengan menghimpun (mengoleksi) karya-karya filosofis Muslim untuk kemudian dipelajari dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang baik. Pengkajian dan penerjemahan ini akan sangat berguna bagi pemahaman dan pengembangan wawasan filosofis Islam, yang selama ini hanya dinikmati melalui karya-karya sekunder, bertujuan menghidari kesalahpahaman akibat ketidakmampuan mengakses secara langsung karya-karya utama (materpiece) para filosof kita. Ratusan karya filosofis, ilmiah, dan mistis masih menunggu upaya-upaya yang serius. Misalnya,  dalam bidang filsafat terdapat karya-karya agung seperti Fî al-Falsafah al-Ulâ47  buah karya al-Kindi, Arâ’ Ahl al-Madînah al-Fadhîlah48  buah karya al-Farabî, al-Syifâ’ dan al-Isyârât wa al-Tanbîhât49  buah karya Ibn Sinâ, Hikmat al-Isyrâq dan al-Talwîhât50  buah karya Suhrawardi, The Nashirean Ethics51 buah karya Nashîr al-Dîn Thûsî, serta Kitâb al-Asfâr al-Arba’ah dan Hikmat al-‘Arsy52  buah karya Mullah Shadra, dll. Demikian juga karya-karya ilmiah di pelbagai bidang, seperti Kitâb al-Manâzhir membahas optika buah karya Ibn Haytsam (w. 1039), al-Hawi fi al-Thibb dan al-Thibb al-Rûhanî 53 buah karya Abu Bakr al-Razi, al-Qanûn fî al-Thibb buah karya Ibn Sina dan al-Syamil fî al-Thibb buah karya Ibn Nafis (w. 1288),54  serta karya-karya di bidang medis. Di bidang astronomi, kita juga punya kitab-kitab agung seperti Zij-I Ilkhânî karya Nashîr al-Dîn Thûsî (w. 1274), dan Durrat al-Tâj li Ghurrat al-Dubaj55  karya Quthb al-Dîn Syîrazî. Sementara bidang tasawuf, yang tidak bisa dipisahkan dari wacana filsafat, terdapat karya-karya agung yang patut dikaji dan diterjemahkan. Misalnya, Matsnawi dan Diwân-I Syams-I Tabrîz56  karya seorang penyair sufi terbesar Persia, Jalal al-din Rumi (w. 1273), Fushûsh al-Hikam dan al-Futûhât al-Makkiyyah57  karya Ibn ‘Arabi (w. 1240), Lama’at58  karya Fakhr al-Dîn ‘Iraqî (w. 1289), dan Munâjât59  karya Khwaja Abdullah Anshari (w. 1089).

Filsafat Islam, yang baru dasarnya saja diperkenalkan oleh almarhum Nasution, patut sekali dikembangkan secara lebih rinci menurut bidang-bidang utamanya: metafisika, epistemologi, etika dan politik. Di bidang metafisika, pengembangan bukan hanya pada masalah ketuhanan dalam pelbagai konsep para filosof Muslim, misalnya al-Kindi, al-Farabi, Abu Sulaiman al-Sijistani, al-Kirmani, al-’Amiri dll., sebagaimana yang dipaparkan Ian Netton dalam Allah Transcendent: Studies in The Structure and Semiotics of Islamic Philosophy, Theology and Cosmology.60  Perihal bukti-bukti filosofis keberadaan-Nya, misalnya dalil al-hudûts yang dikembangkan al-Kindi, dalil al-jawâz oleh Ibn Sina maupun dalil al-inâyah61  oleh Ibn Rusyd. Bahkan bidang-bidang kosmologis, konsep akal (intelek),62 konsep eskatologis, termasuk alam barzakh dan alam mitsal yang menjadi perhatian utama Henry Corbin dalam Spiritual Body and Celestial Earth juga Fazlur Rahman dalam The Philosohy of Mulla Shadra.63 Hal penting yang sering dilewatkan dalam kajian metafisika di IAIN adalah kajian yang berkaitan dengan wujud (eksistensialisme), yang telah menjadi topik utama dalam karya-karya monumental para filosof Muslim.64  Di bidang epistemologi, pengembangan bisa dalam bentuk kajian intensif perihal pandangan epistemologis para filosof dan ilmuwan Muslim yang selama ini jarang sekali disentuh, kendati hal ini dirasa mendesak. Misalnya, pancarian pandangan keilmuan yang harmonis, sebagai alternatif bagi pandangan keilmuan Barat yang dirasakan semakin timpang.65  Karya-karya utama para filosof Muslim yang membahas klasifikasi ilmu pengetahuan, seperti Ihshâ’ al-‘Ulûm karya al-Farabi, al-Munqidz min al-Dhalal dan Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn karya al-Ghazali, Durrat al-Taj li-Gurrat al-Dubaj karya Quthb al-Din Syirazi (w. 1311), dan al-Muqaddimah karya Ibn Khaldun (w.1406), merupakan rujukan utama dalam wacana epistemologi Islam. Di dalamnya dibahas lingkup dan klasifikasi ilmu, sumber serta metode-metodenya.66  Kita pun patut memperhatikan karya-karay besar di bidang filsafat Islam kontemporer yang membahas pelbagai aspek epistemologi Islam secara panjang lebar dan mendalam, sebagaimana karya Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence.67 

Etika filosofis yang dikembangkan para filosof Muslim pun perlu mendapatkan perhatian serius, mengingat langkanya kajian filsafat Islam di bidang ini. Hingga kini masih terdapat pandangan yang kabur perihal obyek, tujuan dan pembahasan pokok dalam etika filosofis, lantaran acapkali terjadi kesalahpahaman. Selain itu, kondisi psikologis dan mental masyarakat akhir-akhir ini menunjukan dekadensi yang mencolok. Pelbagai persoalan moral muncul dengan sangat memalukan, karenanya pengkajian di bidang ini dirasakan semakin urgen. Mengingat etika, menurut para pemikir Muslim, tiada lain adalah ilmu pengobatan rohani yang sangat dibutuhkan manusia, di mana saja dan kapan saja, lebih-lebih dalam keadaan yang serba tidak menentu seperti sekarang ini. Sebenarnya, kita amat beruntung telah memperoleh karya-karya agung perihal etika yang isu-isu moralnya cukup menarik untuk diperbincangkan, misalnya perihal kebahagiaan, pembinaan karakter, pelbagai keutamaan dan penyakit moral, serta pelbagai solusi bagi pelbagai masalah yang timbul. Seperti Tahdzîb al-Ahklâq68 karya Ibn Miskawaih, Nashirian Ethics69  karya Nashîr al-Dîn Thûsî, al-Akhlâq wa al-Siyâr karya Ibn Hazm,70 Akhlâq-I Jalâlî71 karya Jalâl al-Dîn al-Dawwânî, serta karya-karya filosof Muslim kontemporer seperti Falsafe Akhlâq 72 karya Murtadla Muthahhari.

Terakhir, bagian filsafat Islam yang paling diabaikan adalah bidang politik. Kendati perlu diakui bahwa teori politik yang dikembangkan para filosof Muslim tidak begitu berpengaruh dalam praktek politik yang nyata dalam masyarakat, ketimbang, misalnya, konsep politik kaum “jurist”, seperti al-Mawardi, al-Juwayni, al-Ghazali dan Fakhr al-Din al-Razi.73 Namun, setidaknya sumbangan para filosof dalam hal ini patut diperhatikan. Para filosof  yang merumuskan teori-teori politik adalah mereka yang langsung terjun dalam bidang politik, seperti Ibn Sina yang menjadi perdana menteri bagi ‘Ala’ al-Dawlah, Nashir al-Din al-Thusi sebagai wazir dan kepercayaan Hulagu Khan, Miskawayh sebagai wazir bagi ‘Adlul al-Dawlah, dan Ibn Rusyd yang menjadi wazir bagi Ibn Ya’kub. Karenanya, untuk melengkapi bidang garap filsafat di IAIN, sebagai pusat pemikiran dan filsafat Islam, harus disertai perhatian khusus terhadap bidang yang lagi aktual, yakni politik. Semestinya kita patut bersyukur lantaran telah ada, paling tidak dua, karya yang secara khusus membahas pelbagai topik dan bias politik dari filsafat Islam. Pertama, Political Thought in Medieval Islam karya Erwin Rosenthal. Karya ini membahas teori-teori kekhalifahan menurut al-Mawardi, al-Ghazali, Ibn Jama’ah dan Ibn Taymiyah. Bahkan juga filsafat politik dalam Islam, dengan menampilkan pandangan politik Ibn Sina, Ibn Bajja, Thusi dan al-Dawwani.74 Kedua, karya yang secara eksklusif menyuguhkan pandangan politik para filosof, yakni The Political Aspect of Islamic Philosophy. Di dalamnya dikemukakan berbagai konsep politik ––banyak di antaranya untuk pertama kali–– berasal dari hampir semua filosof besar Muslim, seperti al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajjah. Ibn Thufayl, Ibn Rusyd, Suhrawardi, dan Quthb al-Din Syirazi. Karya yang dengan apik diedit oleh Charles E.  Butterworth ini memuat sumbangan para penulis filsafat Islam yang terkenal, seperti ia sendiri, Paul E. Walker, Miriam Galston, Stephen Harvey, Hossein Ziai dan John Walbridge.75  Semua karya ini sangat mendesak untuk diteliti dan dikembangkan oleh civitas akademika IAIN.

IAIN Palangka Raya

Ada beberapa hal lagi yang juga patut menjadi perhatian kita dan bisa menjadi lahan subur bagi pengembangan bidang filsafat Islam, seperti literatur hikmah, kebangkitan metafisika di Barat, dan perkembangan filsafat Islam kontemporer. Literatur hikmah merupakan bidang yang barangkali belum disentuh secara serius, padahal khazanah Islam sangat kaya dengan karya-karya hikmah yang agung. Literatur hikmah yang saya maksud adalah kumpulan karya para filosof Muslim maupun non-Muslim, berisi nasehat moral, religius, politik, juga anekdot-anekdot yang sarat dengan kandungan moral. Diantaranya, Nawâdir al-Falâsifah76  karya Hunain b. Ishaq, al-Hikmah al-Khalîdah karya Ibn Miskawayh, al-Kalâm al-Rûhâniyyah karya Ibn Hindu, Shiwan al-Hikmah karya Abu Sulayman al-Sijistani,77 dan Mukhtâr al-Hikam wa Mahâsin al-Hikam, karya Mubasysyir b. Fatik.78 

Selain literatur hikmah, perkembangan metafisika dalam bentuk filsafat perenial di bawah pimpinan Rene Guenon, juga merupakan lahan yang kaya, sangat berguna dan menarik untuk dikaji secara intensif. Rene Gueson dan murid-muridnya seperti Frithjof Schuon, Martin Lings, Titus Burckhardt, dll., merupakan generasi baru intelektual Barat yang tersadarkan dari kematian spiritualitas dunia Barat. Lalu, berupaya merumuskan metafisika yang sangat kreatif sebagai pandangan alternatif bagi filsafat materialistik Barat. Yang terpenting adalah bahwa mereka telah mengambil tradisi-tradisi besar Timur termasuk Islam (dalam bentuk sufismenya) sebagai sumber inspirasi mereka, dan lebih penting lagi fakta bahwa banyak di antara mereka yang menjadi Muslim. Karena itu, kita punya kepentingan yang besar terhadap karya-karya mereka, bila memiliki rasa ingin tahu bagaimana kontak yang terjadi pada tataran metafisika antara Barat dan Timur. Mereka telah banyak menyumbangkan karya-karya kreatif, seperti What is Sufism? karya Martin Lings, An Introduction to Sufi Doctrines dan The Mirror of Intellect karya Titus Burckhardt, The Reign of Quantity79  karya Guenon, dan beberapa karya cemerlang dari Frithjof Schuon seperti The Transcendent Unity of Religions, Sufism, Sufism: Veil and Quintessence, Light on the Ancient Worlds, dll.

Lahan lain yang mesti dikembangkan adalah perkembangan filsafat Islam kontemporer dan modern, atau yang lebih dikenal sebagai filsafat pasca-Ibn Rusd. Banyak sekali filosof Muslim yang telah menyumbangkan karya-karya orisinil mereka di bidang filsafat pasca-Ibn Rusyd, namun sayang perhatian kita masih sangat minim. Seperti Suhrawardi, Quthb al-Din Syirazi, Nashir al-Din Thusi, Syam al-Din Lahiji, Mulla Shadra, ‘Abd al-Razzaq Lahiji, Muhsin Faydl Kasyani, dll. adalah para tokoh baru yang namanya terdengar samar-samar. Beberapa tokoh yang hidup pada abad kedua puluh seperti Astiyani, Tabataba’i, Murtadla Muthahhari, dan tentu saja Mehdi Ha’iri Yazdi, adalah para tokoh yang mesti dikaji secara intensif dan serius. Karena, dalam karya mereka tercermin bagaimana reaksi para fiolsof Muslim terhadap perkembangan filsafat Barat. Ini mesti digagas, bila IAIN ingin menjadi Pusat pemikiran dan Filsafat Islam. Sebenarnya telah tersedia dua karya penting Henry Cobin, pertama, History of Islamic Philosophy yang membahas sejarah filsafat Islam, sejak munculnya hingga banyak filosof pasca-Ibn Rusyd; kedua, Spiritual Body and Celestial Earth, yang melacak secara khusus pemikiran para filosof dan Sufi pasca-Ibn Rusyd, khususnya konsep mereka tentang alam mitsal. Suatu bidang kajian yang belum tersentuh dalam kurikulum kita.

Penutup
Demikianlah yang dapat saya sajikan berkenaan dengan upaya membangun kerangka keilmuan di IAIN dalam memasuki milenium ketiga, khususnya dari perspektif filosofis. Tentu saja, semua ini akan sangat efektif bila diimplementasikan bukan saja dalam lembaga-lembaga kajian, bahkan dalam kurikulum filsafat di IAIN,80 baik tingkat S1 maupun S2. Jadi, kalau kita lihat dari apa yang telah disajikan, nampak khazanah filsafat Islam sangat kaya, dalam dan menarik. Tiada lain harapan saya, semoga apa yang saya sampaikan dalam makalah ini akan menjadi masukan yang esensial teruatama dalam menyusun kurikulum filsafat islam, yang saat ini masih terlalu sederhana dan perlu terus dikembangkan. Terutama memasuki era baru milenium ketiga yang penuh tantangan, sekaligus kesempatan yang tidak boleh begitu saja kita lewatkan. Semoga bermanfaat.
 
Catatan Akhir

1 Dikutip oleh A.J. Ayer dari Cratylus, 402A, dalam karyanya A Dictionary of Philosohical Quotations (Cambridge: Blacwell Reference, 1992), halaman 182.
 2 Dikutip oleh A. J. Ayer dalam “Matter and Memory”, dalam Ibid., halaman 51.
 3 Lihat Mulyadi Kartanegara, Renungan Mistik Jalal ad-Din Rumi (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), halaman 35.
 4 Seyyed Hossein Nasr, “Mulla Sadra: His Teachings,” dalam Nasr dan Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy (London: Routledge, 1996), halaman 643.
 5 Apresiasi yang kongkrit terhadap pencapaian agung Prof. Dr. Harun Nasution, terlihat jelas dalam sebuah karya yang ditulis dalam rangka peringatan 70 tahunnya, yang berjudul Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 tahun Harun Nasution (Jakarta: LSAF), di mana bukan hanya murid-muridnya yang memberikan apresiasi, tetapi juga rekan-rekan sebayanya.
 6 Antony Flew, Dictionary of Philosophy,  Revised Second Edition (New York: St. Martin’s Press, 1984), halaman 229.
 7 Untuk diskusi tentang metafisika yang cocok dengan pandangan Islam, lihat artikel saya tentang “Islamisasi Ilmu” di Republika pada tanggal 19 Juli 1997 dengan judul Menjajaki Kemungkinan Islamisasi Ilmu, dan proposal saya untuk pendirian Pusat Kajian Filsafat IAIN yang berjudul Revitalisasi Ilmu-ilmu Rasional.
 8 Hodgson dalam bukunya The Venture of Islam menyebut masa modern dimulai sejak tahun 1789 yang merujuk kepada kompleks tertentu yang mempunyai ciri-ciri kultur tertentu. Lihat Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam: Iman dan Sejarah Dalam Peradaban Dunia, terj. Dr. Mulyadhi Kartanegara (Jakarta: Paramadina, 1999), halaman 70.
 9 Lihat Antony Flew, A Dictionary of Philosophy, halaman 197,  juga Bertrand Russell, Religion and Science, (London: Oxford University Press, tt.), halaman 58.
 10 Charles Darwin, The Autobiography of Charles Darwin, ed. Nora Barlow (London: Collins, 1958), halaman 52.
 11 Erich Fromm, Psychoanalysis and Religion (London: Yale Univesity Press, 1977), halaman 11.
 12 G. Duncan Mitchell (ed.), A New Dictionary of Sociology (London: Routledge & Kegan Paul, 1981), halaman 59.
 13 Buku God’s Wispher and Creation’s Thunder pernah saya baca setelah dipinjamkan kepada saya oleh Sdr. Budy-Munawwar Rahman. Adapun informasi di atas telah saya ingat dan saya sangat terkesan olehnya.
 14 Robert Jastrow, God and the Astronomes, Warner Books Editions, New York, 1980, halaman 106.
 15 Tentang riwayat hidup dari Rene Guenon ini, kita patut bersyukur, lantaran telah ada yang menulisnya, yaitu karya Robin Waterfield dengan judul Rene Guenon and the Future of the West: the Life and Writings of a 20thCentury Metaphysician (London: Crucible, Great Britain, 1987).
 16 Buku The Sword of Gnosis: Metaphysics, Cosmology, Tradition, Symbiolism, diedit oleh Jacob Needleman, Arkana, London, 1986; bisa dinilai bagus dalam mewakili pandangan para filosof perenial. Di sini, dimuat artikel-artikel yang menarik dari tokoh-tokoh yang tersebut di atas.
 17 Lihat Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam: Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan Islam (Jakarta: UI Press, 1983).
 18 Buku bagus yang berbicara tentang ini misalnya Osman Bakar, Hirarki Ilmu: Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu (Bandung: Mizan, 1997), atau artikel saya berjudul “Teori Ilmu Pengetahuan Islam,” yang dimuat dalam majalah ISNET, Kalam Musafir, Amerika Serikat, 1994.
 19 Lihat artikel saya, “Menjajaki Kemungkinan Islamisasi Ilmu”,  Republika, 19 Juli 1997.
 20 Tentang hubungan etika dan kebahagiaan, lihat makalah saya “Etika Islam dan Ilmu Pengetahuan,” yang telah didiskusikan dalam seminar Etika Islam yang diselenggrakan oleh Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam, Universitas Indonesia di Depok, 19 Januari 1999, dan akan diterbitkan dalam edisi khusus Jurnal Ilmiah Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam , tahun ini.
 21 Lihat definisi etika oleh Antony Flow, A Dictionary of Philosophy, halaman 113.
 22 Karenanya Miskawaih memberi judul karyanya Tahdzîb al-Akhlâk (Perbaikan Karakter), atau pembentukan dan pendidikan untuk mencapai akhlak yang mulia.
 23 Nashir al-Din Thusi, The Nasirean Ethics, terj. G. M. Wickens (London: George Allen dan Unwin Ltd., 1964), halaman 49.
 24 Majid Fachry, Ethical Theories in Islam (Leiden: E. J. Bill, 1991), halaman 120.
 25 Muhammad bin Zakaria al-Razi, Pengobatan Rohani (Bandung: Mizan, 1995),  halaman 30.
 26 Lihat Nashir al-Din Thusi,  Nasirean Etics, halaman 28.
 27 Lihat Nashir al-Din Thusi,  Nasirean Etics, halaman 28.
 28 Hadits tersebut berbunyi: “al-Ilm bilâ ‘amal ka al-Syajar bilâ Tsamar” (ilmu tanpa amal ibarat pohon tak berbuah), artinya sia-sia.
 29 Lihat Majid Fachry, Etical Theories in Islam, halaman 80.
 30 Lihat al-Razi, Pengobatan Rohani (Bandung: Mizan, 1995).
 31 Miskawayh, The Refinement of Character, terj. Konstantine Zurazk (Beirut:  American University of Beirut, 1968), halaman 157-158.
 32 Miskawayh, The Refinement of Character, halaman 158-170.
 33 Majid Fachry, Ethical Theories in Islam, halaman 68.
 34 Lihat artikel saya berjudul “Perlukah Islamisasi Ilmu”, Republika, 19 September 1997, halaman 6.
 35 Lihat perihal Metafisika di atas. Yang mesti diperhatikan adalah fakta bahwa komunitas Barat (terutama kaum intelektualnya) telah memalingkan perhatiannya ke dunia Islam, demi menyadari keunggulan spiritualitas Timur. Oleh karena itu kewajiban kita jugalah untuk menggali Khazanah klasik kita sendiri, agar mampu menjawab kebutuhan Barat akan spiritualitas.
 36 Penjabaran bahan-bahan mental kajian filsafat Islam akan dibahas pada bagian “Lahan-lahan Potensial Filsafat Islam” di bawah.
 37 Ibnu Abi Ushybi’maniah, ‘Uyûn al-Anbâ’ fi Thabaqât al-Athibbâ’, Ed. Nizar Ridlah (Beirut: Mansyûrât Dâr Maktabat al-Hayât, 1965).
 38 Zhahir al-Din Bayhaqi, Tarikh Hukama’ al-Islam atau Tatimmah Shiwan al-Hikmah, ed. Muhammad Kurd ‘Ali, (Damaskus: Mathba’ al-Taraqqi, 1946).
 39 Bayard Dodge (ed. & terj.), The Fihrist of al-Nadim. vol. I-II (New York: Columbia University Press, 1970).
 40 Qifthi, Ikhbar ‘ulama biakhbar al-Hukama’, ed. Lippert (Liepzig, 1903).
 41 Ibn Juljul, Thabaqat al-Athibba’ wa al-Hukama’, Fuad Said (ed.) (Kairo: Mathba’ at al-Ma’had al-Ilmi al-Faransi, tt.).
 42 Joel L. Kraemer, The Philosophy in the Renaissance of Islam, E.J. Brill, Leiden, 1986.
 43 Everett K. Roeson, A Muslim Philosopher on the Soul and its Fate: Al-‘Amiri’s Kitab al-Ahmad ‘ala al-Abad, American Oriental Society, New Haven, Conneticut, 1988.
 44 Subhan Khalifat, Rasa’il Abi al-Hasan al-Amiri wa Syadzaratuhu al-falsafiyah, Mansyurat al-Jami’ah al-Urdaniah, Amman, 1988.
 45 John Walbridge, The Science of Myistic Light, Harvard University Center for Middle Eastern Studies, 1992.
 46 Paul E. Walker, The Wellsprings of Wisdom: A Study of Abu Ya’qub al-sijistani’s Kitab al-Yanabi’, University of Utah Press, Salt Lake City, 1994.
 47 Alfred L. Ivry, Al-Kindi’s Metaphysics: A Translation of Ya’qub ibn Ishaq al-Kindi’s fi al-falsafah al-Ula, State University of New York Press, Albany, 1974.
 48 Al-Farabi on the Perfec State: Abu Nasr Al-Farabi’s Mabadi’ Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadlilah, ed. Dan terj. Walzer, Oxford University Press, 1985.
 49 Ibn Sina, al-Syifa, ed. Dr. Ibrahim Madkur, Al-Hai’ah al-Ammiyah li Syu’un al-Thabi’ al-Amiriyah, Kairo, 1960; Al-Isyarat wa al-Tanbihat, ed. Sulayman dunia, Dar Ihya’ al-kutub al-‘arabiyah. Kairo, 1947.
 50 Henry Corbin, ed., Shibabuddin Yahya Suhrawardi, Euvres Philiosophiques et mistiques: Kitab al-Talwihat, kitab al-Muqawamat, dan kitab al-Masyari’ wa’l-mutarahat, Academic Imperiale Iranienne de Philosopyie, Tehran, 1964.
 51 Nashir a;l-Din Thusi, The Nasirian Ethics, George Allen & Unwin Ltd., London, 1964.
 52 James Morris, The Wisdom of the Throne, Princeton University Press, New Jessey, 1981.
 53 Lihat, Al-Razi, Pengobatan Ruhani, Mizan, 1995.
 54 Lihat sejarah hidup Ibn Nafis dankarya-karyanya oleh Sulaiman Fayyadh, Ibn Nafis, Penemu Pembuluh darah Kapiler, Pustaka Mantiq, Yogyakarta, 1985, sedangkan tentang al-qanun, lihat Goodman, Avicenna, Routledge, London, 1992.
 55 Lihat Perincian tentang karya ini dalam buu John Walbridge, The Science of Mayistic Light, 1992, halaman. 175-178
 56 Tentang karya-karyanya lihat Mulyadhi Kartanegara, Renungan Mistik Jalal al-Din Rumi, Pustaka Jaya, Jakarta, 1986.
 57 Lihat William Chittick, The Sufi Path of Knowledge, State University of New York, Albany, 1989.
 58 Lihat Fakhruddin ‘iraqi: Divine Falshse, terj. W. Chittick, Paulist Press, New York, 1982.
 59 Victor Dannerr, Ibn ‘Atha’lla: The Book of wisdom & Kwaja Abdullah Ansari: Intimate Conversations, Paulist Press, New York, 1978.
 60 Ian Richard Netton, Allah Transcendent: Studies in the Structure and Semiotics of Islamic Philosophy, Theology and Cosmologi, Curzon Press, Richmont, 1994.
 61 Lihat Paper saya untuk dimuat dalam Jurnal ilmiah Paramadina, “Tuhan dan Problem leberadaanya.”
 62 Lihat Davidson, Alfarabi, Avicenna, & Averroes, on Intellect, Oxford, University Press, 1992.
 63 Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, State University of New York, Albany, 1976.
 64 Dari mulai al-Farabi, kemudian Ibn Sina, Suhrawardi dan Mulla shadra pembicaraan tentang wujud telah menjadi kegiatan filsafat yang menonjol, sehingga terjadilah perdebatan antara kaum esensialisdan eksistensialis Muslim yang cukup sengit.
 65 Lihat Mul;yadhi Kartanegasra, Revitalisai Khazanah Klasik Islam, terutama pada bagian pendahuluannya, Buku ini insya Allah akan diterbitkan tahun ini oleh Paramadina.
 66 Lihat Mulyadhi Kartanegara, “Teori Ilmu Pangetahuan Islam,” Kalam Musafir.”
 67 Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistimology in Islamic Philosophy:Knowledge by Presence, State University of New York Press, Albany, 1992. 
 68 Lihat Maskawaih, TheRefinement of Character, 1968.
 69 Lihat, Nasirean Ethics, 1964.
 70 Lihat Muhammad Abu Layla, In Pursuit of Virtue: The Moral Theology and Psychology of Ibn Hazm al-Andalusi, with a translation of his Book al-Akhlaq wa’l Siyar, Taha Publhisers Ltd., London, 1990.
 71 Jani Muhammad Asad (terj.), Practical Philosophy of the Muhammadan People, Karimsons, Karachi, 1997.
 72 Murtadha Muthahhari, Falsafah Akhlak, Mizan, Bandung, 1995.
 73 Lihat Ann K.S. Lambton, State and Government in Medieval Islam, Oxford University Press, London, 1985.
 74 Erwin Rosenthal, Political Thought in Medical Islam,  Political Thought in Medieval Islam, Greenwood Press Publishers, Wesport, Connecticut, 1985.
 75 Charles Butterworth, The Political Aspects of Islamic Philosophy, Center for Middle eastern Studies, Harvard Univesity Press, 1992.
 76Naskah  asliNawadir al-falasifah karangan Hunain b. Ishaq tidak lestari, tetapi sebuah resensinya oleh al-Anshari dengan judul Adab al-Falasifa  telah diedit oleh Abd al-Rahman Badawi, pada tahun 1985.
 77Shiwan al-hikmah hanya lestari dalam dua resensinya yang pertama Muntakhab Shiwan al-Hikmah, telah diedit oleh ‘Abd al-Rahman Badawi dan Dunlop, sedangkan yang kedua Mukhtashar Shiwan al-Hikma oleh ‘Umar b. Sahlan al-Sawi, diedit pertama kali oleh Mulyadhi kartanegara sebagai disertasi di Universitas Chicago (1996).
 78 Mubasysyir b. Fatik, Mukhtar al-Hikam wa mahasin al-Kalim, Ed. ‘Abd al-Rahman Badawi, Mathba’at al-Ma’had al-Mishri li dirasat al- Islamiyah, Madrid, 1958
79 Lihat Robin Waterfield, Rene Guenon, 1987.
 80 Tentang pengembangan kurikulum IAIN dan PTAIN lihat artikel saya “Metodologi Kajian Filsafat Islam” diterbitkan oleh Jurnal ilmiah Fakultas Ushuluddin Refleksi, vol.I, no. 1, 1998, halaman 6-8.