Sidang Jum’at rahimakumullah
Al-Qur’an
merupakan firman Allah. Membacanya, walaupun belum paham artinya tetap
mendatangkan pahala. Wajar umat Islam pada umumnya berusaha membaca Al-Qur’an,
terutama dipesantren. Di pesantren, para santri membaca Al-Qur’an dan belajar
cara membacanya dengan baik. Kalaupun di tempat tinggalnya sebelum mesantren
seorang santri sudah belajar membaca Al-Qur’an sampai khatam, namun di pesantren
tetap belajar lagi. Dapat dikatakan, belajar membaca Al-Qur’an di pesantren
lebih fasih daripada di tempat belajar sebelumnya. Untuk belajar Al-Qur’an dengan
benar dan baik saja kadang dibutuhkan waktu satu minggu sampai tiga bulan
tergantung santri yang belajar. Hal ini dapat dipahami bila kita melihat budaya
daerah yang mempengaruhi cara baca bahasa arab bagi yang masih belajar. Orang
Jawa yang belum mengerti misalnya, menyebut dulhamid
dengan dulkamid. Bahkan masih ada
imam solat yang membaca Al-Hamdu dengan
Al-Kamdu. Orang Tiongkok berdasarkan
pengalama Ustadz Alifudin, da’i Tiongkok, bagi yang belum bisa ngaji, membaca ra dengan la, sehingga bunyi Allahu
akbar menjadi Allah akbal. Dan
orang sunda yang belum fasih sering membaca fa
dengan pa, sehingga lafadz fa shalli dibaca dengan pa shalli. Untuk memperbaiki hal
tersebut butuh waktu, latihan dan kesabaran.
Membaca Al-Qur’an merupakan
tradisi di pesantren. Pesantren memfasilitasi bagi yang mau belajar membaca
Al-Qur’an, minimal ba’da maghrib dan ba’da shubuh. Alunan suara orang yang
membaca Al-Qur’an terdengar akrab di pesantren. mengenai membaca Al-Qur’an ini,
marilah kita mengenang kiyai Moenawir Krapyak, Yogyakarta. Kiyai Moenawir
sebelum berusia delapan tahun telah membaca Al-Qur’an sampai khatam. Hal ini
diawali oleh tantangan ayahnya untuk menghatamkan Al-Qur’an dalam waktu seminggu
dengan hadiah Rp 150,-. Ia ternyata berhasil, dan sejak itu istiqomah menghatamkan
Al-Qur’an seminggu sekali. Ketika berusina 10 tahun ia mesantren di Madura.
Kiyai Kholil Bangkalan memerintahkannya untuk menjadi Imam shalat berjamaah,
sementara ia sendiri menjadi makmumnya. Setelah belajar di Madura, Kiayai
Moenawir mengaji kepada beberapa ulama besar seperti Kiyai Sholeh Darat
Semarang dan Kiayai Abdurrahman Watucongol, Magelang.
Setelah mengaji di bebrapa
pesantren, pada tahun 1888, kiayi moenawir bermukim dan beljar di tanah Suci
selama 21 tahun, dimana selama 16 tahun pertama, ia khusus mempelajari dan
mempelajari Al-Qur’an beserta cabang-cabang keilmuannya. Di Mekah, beliau
antara lain mempelajari tahfidz (penghafalan), tafsir, dan qiraah sab’ah (tujuh gaya bacaan) kepada Syekh Abdullah Sungkoro,
Syekh Sarbini, Syekh Mukri, Syekh Ibrahim Huzaimi, Syekh Manshur, Syekh Abdul
Syuku, dan Syekh Mustofa. Karena kecemerlanganya dalam mengaji, Syekh Yusuf
Hajar, guru qiraah sab’ah, memberinya
ijazah sanad qiraah yang bersambung
hingga Rasulullah, sesuatu yang jarang terjadi. Dalam sanad silsilahnya qiraah
tersebut ia berada di urutan ke -35. Ia juga mendapat sanad lain dari Syekh
Abdul Karim bin umar Al-Badri Ad-Dimyathi.
Seorang sedang Membaca Al-Qur'an di KRL (source from google) |
Disebutkan, ia juga melakukan riyadhah (penggemblengan diri dengan
memperbanyak ibadah dan melakukan amal shalih) berjenjang: tiga (3) tahun
pertama menghatamkan Al-Qur’an setiap tujuh (7) hari; tiga (3) tahun kedua
menghatamkan Al-Qur’an tiga hati sekali; dan tiga (3) tahun ketiga
mengkhatamkan Al-Qur’an setiap hari. Riyadhah
tersebut ditutup dengan membaca Al-Qur’an tanpa henti selama 40 hari 40 malam,
sehingga mulutnya terluka dan berdarah. Demikian majalah Al-kisah pernah
menceritakan selintas riwayat hidupnya.
Bandingkan Kiyai Moenawir yang
sering mengkhatamkan Al-Qur’an dengan kita! Umat silam masih banyak yang belum
dapat membacanya saja masih belum mampu. Beruntunglah bagi mereka yang masih
mau dan tidak malu belajar a ba ta tsa,
sekalipun usianya sudah lansia. Berapa banyak yang masih belum dapat membaca Al-Qur’an?
Berapa banyak pula orang yang sudah dapat membaca Al-Qur’an, namun lupa untuk
membacanya? Kalau tidak percaya, coba ketuk pintu umat Islam. Pinjamkan Al-Qur’an
kepadanya. Sebelum Al-Qur’an dibuka dan dibaca, tiup dulu covernya. Apa yang terjadi? Kalau debu-debu beterbangan, berarti Al-Qur’an
tersebut hanya disimpan dan jarang dibuka dan dibaca. Berapa banyak orang yang
menjadikan Al-Qur’an sebatas benda bersejarah, sekedar kenang-kenangan atau mas
kawin saat akad nikah. Menyedihkan.
Siding Jum’at yang dirahmati Allah
Allah SWT berfirman, yang
artinya:”Berkatalah Rasul:”Ya Tuhanku, sesunggguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an
ini suatu yang tidak diacuhkan”. (QS. Al-Furqan:30)
Diantara makna dari mengacuhkan,
meninggalkan dan menelantarkan Al-Qur’an ialah tidak membacanya. Belajarlah
dari kiyai Moenawir Krapyak. Belajarlah dari para sahabat Rasulullah. Mereka
banyak yang mengkhatamkan Al-Qur’an seminggu sekali. Rasulullah memerintahkan
Abdullah bin Amr mengkhatamkan Al-Qur’an seminggu sekali. Begitu pula para
sahabat lainnya: Utsman. Zaid bin tsabit, Ibnu mas’ud, dan Ubai bin Ka’ab ra.
Bagi yang belum mambacanya, maka hendaklah terus belaja memvaanya. Nabi Saw bersabda,
yang artiya:”Orang yang mahir membaca Al-Qur’an bersama para malaikat yang
mulia dan taat. Sedangkan orang yang membaca Al-Qur’an dengan terbata-bata
(masih belajar), maka baginya dua (2) pahala.” (HR. Muslim).
Berbahagialah orang yang mambaca Al-Qur’an.
Berbahagialah orang yang mendengarkan dan menyimak Al-Qur’an. “Apabila
dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang maha pemurah maka mereka menyungkur dengan
bersujud dan menangis.” (QS. Maryam:58). Pernahkan kita menangis saat membaca Al-Qur’an? Mengapa sulit menangis saat membaca Al-Qur’an?
Adakah Al-Qur’an telah kehilangan daya mukzijatnya? Tidak adakah ayat Al-Qur’an
yag dapat mengguncang hati kita? Ataukah ada debu dosa yang tebal yang
menyelimuti hati kita, sehingga cahaya Al-Qur’an belum dapat menembus nurani
kita?
Bacalah Al-Qur’an. orang mukmin
yang membaca Al-Qur’an seperti buah yang harum baunya dan lezat rasanya. Sedangkan
orang mukmin yang tidak membaca Al-Qur’an sekalipun tetap enak rasanya, namun
tidak ada aroma harumnya. Adapun orang munafik yang membaca Al-Qur’an,
sekalipun harum baunya, namun pahit rasanya.
Apalagi orang munafik yang membaca Al-Qur’an tidak ada harus dan pahit
rasanya.
sejumlah orang sedang mendaras Al-Qur'an (source from google) |
Sidang Jum’at rahimakumullah
Dalam membaca Al-Qur’an, ada
beberapa tujuan, yaitu:
1.
Meraih
Ilmu
Allah SWT
berfirman, yang artinya:”Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu
penuh dengan berkah supaya memperhatikan ayat-ayat Nya dan supaya mendapatkan
pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shad:29)
Hasan Al-Bashri
berkata,”Tidaklah Allah turunkan satu ayat, melainkan Dia ingin memberitahukan
untuk apa ayat tersebut diturunkan dan apa yang Dia kehendaki.” Meraih ilmu
saat membaca Al-Qur’an hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang menguasai
bahasa Arab atau minimal memahami terjemahannya. Bila kita belum mendapatkan
ilmu atau inspirasi saat membaca Al-Qur’an, hendaknya tetap membacanya, karena
tetap diberi pahala dan berkah. Pahala satu (1) huruf yang kita baca adalah
sepuluh (10) hasanah (kebaikan).
Kaidah fikih menyebutkan, yang artinya:”Apa yang tidak dapat diraih semuanya,
hendaknya tidak ditinggalkan semuanya.”
Dengan kata lain, lakukan saja apa yang dapat
dilakukan, sekalipun belum maksimal. Kalau tidak dapat menangkap ikan besar,
maka jangan meninggalkan Ikan Teri.
2.
Mengamalkan
ayat-ayat Al-Qur’an
Ali bin Abi
Thalib ra berkata,”Wahai para pembawa Al-Qur’an atau pembawa ilmu, ketahuilah
bahwa yang disebut ‘alim (orang
berilmu) adalah yang mengamalkan apa yang ia ketahui dan ilmunya dan sesuai apa
yang ia amalkan.” Hasan bin Ali berkata,”Bacalah Al-Qur’an sampai Ia dapat
mencegahmu. Bila ia tidak bisa mencegahmu,, maka berarti yang engkau lakukan
bukanlah membaca Al-Qur’an.”Amalkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam keseharian. Ibnu
Katsir menjelaskan orang yang menelantarkan Al-Qur’an ialah orang yang tidak
mendengarkan, tidak mengimani (tidak membenarkan), tidak memahami, tidak
merenungkan dan tidak mengamalkannya. Tidak menjalankan perintah dan menjauhi
larangan-Nya, dan berpaling dari Al-Qur’an menuju syair, lagu, dan ajaran yang
bertentangan dengan Al-Qur’an (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adziem, Juz III,
hal.317).
Rasulullah Saw
bersabda,”siang dan malam telah berakir (telah tiba hari kiamat). Lantas
seseorang meletakan mushaf di hadapannya. Ia membolak balik lembaran mushaf,
namun lembaran-lembaran itu malah melaknat orang tersebut. Setiap kali dia
membaca sebuah ayat, maka ayat itu melaknat dirinya. Setiap kali dia mengucap
satu (1) huruf ayat, maka huruf itupun melaknatnya.” Rasulullah
ditanya,”Mengapa bisa demikian ya Rasululallah?”
Beliau
menjawab,”Setiap dia membaca ayat yang menerangkan keharaman khamr dan
perjudian," maka ayat itu berkata,”Dia pembohong. Semoga Allah melaknatnya.
Sebab dia tidak menjauhi khamr dan perjudian.”Ketika dia membaca ayat
mengerjakan Haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang
yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah, maka ayat itu akan
berkata,”Dia pembohong. Semoga Allah melaknat orang itu. Sebenarnya orang itu
mampu untuk menunaikan haji. Namun, dia tidak menunaikannya.”Setiap kali dia
membaca ayat yang tidak dia kerjakan kandungannya, maka ayat itu akan selalu
melaknatnya.”
3.
Bermunajat
kepada Allah
Maksud munajat
adalah membaca Al-Qur’an dengan hidup dan menyadari apa yang dibaca. Ketika
melewati satu ayat yang berisi tasbih, maka bertasbih. Ketika melewati ayat
yang berisi permohonan, maka memohonlah. Ketika melewati ayat yang berisi
perlindungan, maka mohonlah perlindungan.”Al-Qur’an adalah surat dari Allah
untukmu yang disampaikan melalui lisan Rasul-Nya.”(Ibnu Qayyim). Seandainya
kita mendapat surat dari orang yang kita cintai, tentu kita akan membacanya
berulang-ulang. Ada kerinduan saat kita membacanya. Bahkan saat membuka sampul
suratnya pun, detak jantung kita sudah berpacu, perasaan kita bergelora, dan rasa
rindu dan ingin tahu yang tak terahankan. Saat membacanya kita fokus. Mata dan
pikiran kita tertuju hanya pada isi surat yang sedang kita baca. Setelah
membacanya, kita ingin membacanya lagi, lagi, dan lagi. Al-Qur’an adalah
kiriman surat dari Allah Al-Mahbub
(yang dicintai), yang kita puji karena kebaikan dan nikmat-Nya yang berlimpah
ruah. Nikmat Tuahn mana lagi yang kau nafikan? Membaca Al-Qur’an seakan kita
berhadapan dengan Allah.
4.
Meraih
Pahala
Aisyah ra
berkata, Rasulullah Saw bersabda,”Seorang yang mahir dengan Al-Qur’an, maka ia
bersama malaikat yang mulia dan selalu berbuat kebajikan. Orang yang membaca Al-Qur’an
dan terbata-bata dalam membacanya sedang ia merasa kesulitan, maka ia
mendapatkan dua (2) pahala.”Hikmah Al-Qur’an itu berpahala, sekalipun belum
diketahui artinya antara lain adalah menjaga keasliannya karena orang yang
terdorong membacanya walaupun belum memahami artinya. Khalid bin Ma’dan
berkata,”sesungguhnya oang yang membaca Al-Qur’an mendapatkan satu (1) pahala
dan orang yang mendengarkannya mendapatkan 2 (dua) pahala.”Qatadah berkata,”Tidaklah
orang duduk membaca Al-Qur’an, kemudian bangun, melainkan mendapatkan tambahan
dan pengurangan. Kemudian dia membaca,”Dan kami turunkan Al-Qur’an sebagai obat
dan kasih sayang bagi orang-orang yang beriman da tidak akan menambahkan bagi
orang-orang zalim, selain kerugian.”
Tasbit bin Ajlan
Al-Anshari berkata:”Sesungguhnya Allah akan menurunkan azab kepada penghuni
bumi, namun tatkala mendengar anak-anak belajar Al-Qur’an, maka dipalingkannya
dari mereka.”
5.
Mencari
Kesembuhan
“Obat terbaik
adalah Al-Qur’an,”Sabda Nabi Saw. Bila hati kita lesu, iman kita melemah dan
jiwa kita gundah, maka bacalah Al-Qur’an. Bila fisik kita sakit, berobatlah dan
minum air sambil membacakan Al-Fatihah. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah murid Imam Ibnu
Taimiyah sering melakukan pengobatan dengan membaca Al-Fatihah dan membuktikan
kemanjurannya.
Sidang Jum’at rahimakumullah
Demikian semoga
memberikan hidayah dan taufik kepada kita, sehingga dapat membaca Al-Qur’an
siang dan malam, pagi dan sore. Kalau kita merasa rugi bila dalam satu hari
tidak membaca berita Koran atau internet, maka mengapa tidak merasa rugi bila
satu hari terlewatkan membaca Al-Qur’an. Membaca Al-Qur’an merupakan tradisi
Nabi saw dan para sahabatnya. Tradisi para kiyai dan santrinya dan tradisi kita
semua, umat Islam dimanapun dan apapun profesinya. Wa Allahu a’lam bi Ash Shawab
(diambil dari buku 'khutbah Jum'at Pesantren, Kementerian Agama RI)
(diambil dari buku 'khutbah Jum'at Pesantren, Kementerian Agama RI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar