Selasa, 09 Mei 2017

TRADISI TILAWAH AL-QUR’AN


Sidang Jum’at rahimakumullah

Al-Qur’an merupakan firman Allah. Membacanya, walaupun belum paham artinya tetap mendatangkan pahala. Wajar umat Islam pada umumnya berusaha membaca Al-Qur’an, terutama dipesantren. Di pesantren, para santri membaca Al-Qur’an dan belajar cara membacanya dengan baik. Kalaupun di tempat tinggalnya sebelum mesantren seorang santri sudah belajar membaca Al-Qur’an sampai khatam, namun di pesantren tetap belajar lagi. Dapat dikatakan, belajar membaca Al-Qur’an di pesantren lebih fasih daripada di tempat belajar sebelumnya. Untuk belajar Al-Qur’an dengan benar dan baik saja kadang dibutuhkan waktu satu minggu sampai tiga bulan tergantung santri yang belajar. Hal ini dapat dipahami bila kita melihat budaya daerah yang mempengaruhi cara baca bahasa arab bagi yang masih belajar. Orang Jawa yang belum mengerti misalnya, menyebut dulhamid dengan dulkamid. Bahkan masih ada imam solat yang membaca Al-Hamdu dengan Al-Kamdu. Orang Tiongkok berdasarkan pengalama Ustadz Alifudin, da’i Tiongkok, bagi yang belum bisa ngaji, membaca ra dengan la, sehingga bunyi Allahu akbar menjadi Allah akbal. Dan orang sunda yang belum fasih sering membaca fa dengan pa, sehingga lafadz fa shalli dibaca dengan pa shalli. Untuk memperbaiki hal tersebut butuh waktu, latihan dan kesabaran.

Membaca Al-Qur’an merupakan tradisi di pesantren. Pesantren memfasilitasi bagi yang mau belajar membaca Al-Qur’an, minimal ba’da maghrib dan ba’da shubuh. Alunan suara orang yang membaca Al-Qur’an terdengar akrab di pesantren. mengenai membaca Al-Qur’an ini, marilah kita mengenang kiyai Moenawir Krapyak, Yogyakarta. Kiyai Moenawir sebelum berusia delapan tahun telah membaca Al-Qur’an sampai khatam. Hal ini diawali oleh tantangan ayahnya untuk menghatamkan Al-Qur’an dalam waktu seminggu dengan hadiah Rp 150,-. Ia ternyata berhasil, dan sejak itu istiqomah menghatamkan Al-Qur’an seminggu sekali. Ketika berusina 10 tahun ia mesantren di Madura. Kiyai Kholil Bangkalan memerintahkannya untuk menjadi Imam shalat berjamaah, sementara ia sendiri menjadi makmumnya. Setelah belajar di Madura, Kiayai Moenawir mengaji kepada beberapa ulama besar seperti Kiyai Sholeh Darat Semarang dan Kiayai Abdurrahman Watucongol, Magelang.

Setelah mengaji di bebrapa pesantren, pada tahun 1888, kiayi moenawir bermukim dan beljar di tanah Suci selama 21 tahun, dimana selama 16 tahun pertama, ia khusus mempelajari dan mempelajari Al-Qur’an beserta cabang-cabang keilmuannya. Di Mekah, beliau antara lain mempelajari tahfidz (penghafalan), tafsir, dan qiraah sab’ah (tujuh gaya bacaan) kepada Syekh Abdullah Sungkoro, Syekh Sarbini, Syekh Mukri, Syekh Ibrahim Huzaimi, Syekh Manshur, Syekh Abdul Syuku, dan Syekh Mustofa. Karena kecemerlanganya dalam mengaji, Syekh Yusuf Hajar, guru qiraah sab’ah, memberinya ijazah sanad qiraah yang bersambung hingga Rasulullah, sesuatu yang jarang terjadi. Dalam sanad silsilahnya qiraah tersebut ia berada di urutan ke -35. Ia juga mendapat sanad lain dari Syekh Abdul Karim bin umar Al-Badri Ad-Dimyathi.

Seorang sedang Membaca Al-Qur'an di KRL (source from google)

Disebutkan, ia juga melakukan riyadhah (penggemblengan diri dengan memperbanyak ibadah dan melakukan amal shalih) berjenjang: tiga (3) tahun pertama menghatamkan Al-Qur’an setiap tujuh (7) hari; tiga (3) tahun kedua menghatamkan Al-Qur’an tiga hati sekali; dan tiga (3) tahun ketiga mengkhatamkan Al-Qur’an setiap hari. Riyadhah tersebut ditutup dengan membaca Al-Qur’an tanpa henti selama 40 hari 40 malam, sehingga mulutnya terluka dan berdarah. Demikian majalah Al-kisah pernah menceritakan selintas riwayat hidupnya.

Bandingkan Kiyai Moenawir yang sering mengkhatamkan Al-Qur’an dengan kita! Umat silam masih banyak yang belum dapat membacanya saja masih belum mampu. Beruntunglah bagi mereka yang masih mau dan tidak malu belajar a ba ta tsa, sekalipun usianya sudah lansia. Berapa banyak yang masih belum dapat membaca Al-Qur’an? Berapa banyak pula orang yang sudah dapat membaca Al-Qur’an, namun lupa untuk membacanya? Kalau tidak percaya, coba ketuk pintu umat Islam. Pinjamkan Al-Qur’an kepadanya. Sebelum Al-Qur’an dibuka dan dibaca, tiup dulu covernya. Apa yang terjadi? Kalau debu-debu beterbangan, berarti Al-Qur’an tersebut hanya disimpan dan jarang dibuka dan dibaca. Berapa banyak orang yang menjadikan Al-Qur’an sebatas benda bersejarah, sekedar kenang-kenangan atau mas kawin saat akad nikah. Menyedihkan.

Siding Jum’at yang dirahmati Allah

Allah SWT berfirman, yang artinya:”Berkatalah Rasul:”Ya Tuhanku, sesunggguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an ini suatu yang tidak diacuhkan”. (QS. Al-Furqan:30)

Diantara makna dari mengacuhkan, meninggalkan dan menelantarkan Al-Qur’an ialah tidak membacanya. Belajarlah dari kiyai Moenawir Krapyak. Belajarlah dari para sahabat Rasulullah. Mereka banyak yang mengkhatamkan Al-Qur’an seminggu sekali. Rasulullah memerintahkan Abdullah bin Amr mengkhatamkan Al-Qur’an seminggu sekali. Begitu pula para sahabat lainnya: Utsman. Zaid bin tsabit, Ibnu mas’ud, dan Ubai bin Ka’ab ra. Bagi yang belum mambacanya, maka hendaklah terus belaja memvaanya. Nabi Saw bersabda, yang artiya:”Orang yang mahir membaca Al-Qur’an bersama para malaikat yang mulia dan taat. Sedangkan orang yang membaca Al-Qur’an dengan terbata-bata (masih belajar), maka baginya dua (2) pahala.” (HR. Muslim).

Berbahagialah orang yang mambaca Al-Qur’an. Berbahagialah orang yang mendengarkan dan menyimak Al-Qur’an. “Apabila dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang maha pemurah maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (QS. Maryam:58). Pernahkan kita menangis saat membaca Al-Qur’an?  Mengapa sulit menangis saat membaca Al-Qur’an? Adakah Al-Qur’an telah kehilangan daya mukzijatnya? Tidak adakah ayat Al-Qur’an yag dapat mengguncang hati kita? Ataukah ada debu dosa yang tebal yang menyelimuti hati kita, sehingga cahaya Al-Qur’an belum dapat menembus nurani kita?

Bacalah Al-Qur’an. orang mukmin yang membaca Al-Qur’an seperti buah yang harum baunya dan lezat rasanya. Sedangkan orang mukmin yang tidak membaca Al-Qur’an sekalipun tetap enak rasanya, namun tidak ada aroma harumnya. Adapun orang munafik yang membaca Al-Qur’an, sekalipun harum baunya, namun pahit rasanya.  Apalagi orang munafik yang membaca Al-Qur’an tidak ada harus dan pahit rasanya.

sejumlah orang sedang mendaras Al-Qur'an (source from google)

Sidang Jum’at rahimakumullah

Dalam membaca Al-Qur’an, ada beberapa tujuan, yaitu:

1.       Meraih Ilmu

Allah SWT berfirman, yang artinya:”Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya memperhatikan ayat-ayat Nya dan supaya mendapatkan pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shad:29)
Hasan Al-Bashri berkata,”Tidaklah Allah turunkan satu ayat, melainkan Dia ingin memberitahukan untuk apa ayat tersebut diturunkan dan apa yang Dia kehendaki.” Meraih ilmu saat membaca Al-Qur’an hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang menguasai bahasa Arab atau minimal memahami terjemahannya. Bila kita belum mendapatkan ilmu atau inspirasi saat membaca Al-Qur’an, hendaknya tetap membacanya, karena tetap diberi pahala dan berkah. Pahala satu (1) huruf yang kita baca adalah sepuluh (10) hasanah (kebaikan). Kaidah fikih menyebutkan, yang artinya:”Apa yang tidak dapat diraih semuanya, hendaknya tidak ditinggalkan semuanya.”

Dengan  kata lain, lakukan saja apa yang dapat dilakukan, sekalipun belum maksimal. Kalau tidak dapat menangkap ikan besar, maka jangan meninggalkan Ikan Teri.

2.       Mengamalkan ayat-ayat Al-Qur’an

Ali bin Abi Thalib ra berkata,”Wahai para pembawa Al-Qur’an atau pembawa ilmu, ketahuilah bahwa yang disebut ‘alim (orang berilmu) adalah yang mengamalkan apa yang ia ketahui dan ilmunya dan sesuai apa yang ia amalkan.” Hasan bin Ali berkata,”Bacalah Al-Qur’an sampai Ia dapat mencegahmu. Bila ia tidak bisa mencegahmu,, maka berarti yang engkau lakukan bukanlah membaca Al-Qur’an.”Amalkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam keseharian. Ibnu Katsir menjelaskan orang yang menelantarkan Al-Qur’an ialah orang yang tidak mendengarkan, tidak mengimani (tidak membenarkan), tidak memahami, tidak merenungkan dan tidak mengamalkannya. Tidak menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, dan berpaling dari Al-Qur’an menuju syair, lagu, dan ajaran yang bertentangan dengan Al-Qur’an (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adziem, Juz III, hal.317).

Rasulullah Saw bersabda,”siang dan malam telah berakir (telah tiba hari kiamat). Lantas seseorang meletakan mushaf di hadapannya. Ia membolak balik lembaran mushaf, namun lembaran-lembaran itu malah melaknat orang tersebut. Setiap kali dia membaca sebuah ayat, maka ayat itu melaknat dirinya. Setiap kali dia mengucap satu (1) huruf ayat, maka huruf itupun melaknatnya.” Rasulullah ditanya,”Mengapa bisa demikian ya Rasululallah?”

Beliau menjawab,”Setiap dia membaca ayat yang menerangkan keharaman khamr dan perjudian," maka ayat itu berkata,”Dia pembohong. Semoga Allah melaknatnya. Sebab dia tidak menjauhi khamr dan perjudian.”Ketika dia membaca ayat mengerjakan Haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah, maka ayat itu akan berkata,”Dia pembohong. Semoga Allah melaknat orang itu. Sebenarnya orang itu mampu untuk menunaikan haji. Namun, dia tidak menunaikannya.”Setiap kali dia membaca ayat yang tidak dia kerjakan kandungannya, maka ayat itu akan selalu melaknatnya.”

3.       Bermunajat kepada Allah

Maksud munajat adalah membaca Al-Qur’an dengan hidup dan menyadari apa yang dibaca. Ketika melewati satu ayat yang berisi tasbih, maka bertasbih. Ketika melewati ayat yang berisi permohonan, maka memohonlah. Ketika melewati ayat yang berisi perlindungan, maka mohonlah perlindungan.”Al-Qur’an adalah surat dari Allah untukmu yang disampaikan melalui lisan Rasul-Nya.”(Ibnu Qayyim). Seandainya kita mendapat surat dari orang yang kita cintai, tentu kita akan membacanya berulang-ulang. Ada kerinduan saat kita membacanya. Bahkan saat membuka sampul suratnya pun, detak jantung kita sudah berpacu, perasaan kita bergelora, dan rasa rindu dan ingin tahu yang tak terahankan. Saat membacanya kita fokus. Mata dan pikiran kita tertuju hanya pada isi surat yang sedang kita baca. Setelah membacanya, kita ingin membacanya lagi, lagi, dan lagi. Al-Qur’an adalah kiriman surat dari Allah Al-Mahbub (yang dicintai), yang kita puji karena kebaikan dan nikmat-Nya yang berlimpah ruah. Nikmat Tuahn mana lagi yang kau nafikan? Membaca Al-Qur’an seakan kita berhadapan dengan Allah.

4.       Meraih Pahala

Aisyah ra berkata, Rasulullah Saw bersabda,”Seorang yang mahir dengan Al-Qur’an, maka ia bersama malaikat yang mulia dan selalu berbuat kebajikan. Orang yang membaca Al-Qur’an dan terbata-bata dalam membacanya sedang ia merasa kesulitan, maka ia mendapatkan dua (2) pahala.”Hikmah Al-Qur’an itu berpahala, sekalipun belum diketahui artinya antara lain adalah menjaga keasliannya karena orang yang terdorong membacanya walaupun belum memahami artinya. Khalid bin Ma’dan berkata,”sesungguhnya oang yang membaca Al-Qur’an mendapatkan satu (1) pahala dan orang yang mendengarkannya mendapatkan 2 (dua) pahala.”Qatadah berkata,”Tidaklah orang duduk membaca Al-Qur’an, kemudian bangun, melainkan mendapatkan tambahan dan pengurangan. Kemudian dia membaca,”Dan kami turunkan Al-Qur’an sebagai obat dan kasih sayang bagi orang-orang yang beriman da tidak akan menambahkan bagi orang-orang zalim, selain  kerugian.”

Tasbit bin Ajlan Al-Anshari berkata:”Sesungguhnya Allah akan menurunkan azab kepada penghuni bumi, namun tatkala mendengar anak-anak belajar Al-Qur’an, maka dipalingkannya dari mereka.”

5.       Mencari Kesembuhan

Obat terbaik adalah Al-Qur’an,”Sabda Nabi Saw. Bila hati kita lesu, iman kita melemah dan jiwa kita gundah, maka bacalah Al-Qur’an. Bila fisik kita sakit, berobatlah dan minum air sambil membacakan Al-Fatihah. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah murid Imam Ibnu Taimiyah sering melakukan pengobatan dengan membaca Al-Fatihah dan membuktikan kemanjurannya.

Sidang Jum’at rahimakumullah


Demikian semoga memberikan hidayah dan taufik kepada kita, sehingga dapat membaca Al-Qur’an siang dan malam, pagi dan sore. Kalau kita merasa rugi bila dalam satu hari tidak membaca berita Koran atau internet, maka mengapa tidak merasa rugi bila satu hari terlewatkan membaca Al-Qur’an. Membaca Al-Qur’an merupakan tradisi Nabi saw dan para sahabatnya. Tradisi para kiyai dan santrinya dan tradisi kita semua, umat Islam dimanapun dan apapun profesinya. Wa Allahu a’lam bi Ash Shawab
(diambil dari buku 'khutbah Jum'at Pesantren, Kementerian Agama RI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar